
Bayangkan anda duduk berjam-jam, mungkin 3 – 4 jam. Selagi duduk, anda akan berhadapan dengan lansia dari usia 60 – 80 tahun, meskipun ada yang 40 – 50 tahun. Pendengaran yang sudah berkurang begitu juga penglihatan. Itulah masalah yang kami hadapi dengan sabar, kadang harus menaikkan volume suara, kadang harus menarik nafas panjang. Sekelumit cerita dari relawan Sejuta Kacamata.

Bulan september, kami sudah melakukan 2 kegiatan pembagian kacamata baca secara cuma-cuma di Kulon Progo dan Surakarta. Sekitar 800 pasang kacamata kami distribusikan kepada mereka yang membutuhkan.
Menjalankan Amanah
Kacamata-kacamata ini adalah amanah daripada donatur yang telah menghibahkan kacamata yang sudah tidak terpakai lalu mengirimkannya kepada sejuta kacamata. Kami lalu mensortir dan memerbaikai semua kacamata dan jika perlu mengganti akan lebih layak diterima.
Amanah yang harus dijalankan adalah mendistribusikan kacamata. Tidak sekedar membagikan, namun harus bisa memastikan yang menerima adalah orang yang tepat dengan kacamata yang tepat.

Tidak mudah memastikan dan semua pas baik kacamata maupun yang menerimanya. Langkah pertama adalah memastikan penerima tidak mengalami gangguan mata seperti glukoma atau katarak. Dokter mata diperlukan pada keadaan ini, sehingga dokter mata yang seharusnya buka praktik tetapi kali ini harus turun lapangan.
Memeriksa Mata
Setelah memastikan kesehatan mata, barulah penerima akan diperiksa untuk mendapatkan kacamata yang sesuai dengan ukurannya. Usia seseorang kadang bisa menjadi patokan, dimana mereka yang sudah kepala 4 akan plus 1, kepala 5 plus 1,5 – 2, kepala 6 – akan plus 2 – 3, sisanya akan plus lebih dari itu. Namun itu adalah acuan kasar.

Secarik kertas bertuliskan huruf dengan ukuran 8, 10, 12, 14, dan 16 menjadi acuan. Saat penerima bisa membaca tanp a harus memundurkan kepala atau memajukan kertas pada font 12 maka masih anggap normal atau plus masih dibawah 1. Jika mereka melakukan gerakan, maka bersiap untuk memasangkan kacamata plus 1 lalu 1,25 dan seterusnya sampai penerima mendapat ukuran yang pas dan nyaman saat membaca.
Ada kalanya pengukuran itu meleset. Penerima kadang sesaat saja melihat huruf dan memaksaakan. Setelah sampai rumah dicoba berubah menjadi pusing, artinya ukuran tidak tepat. Kami menerima revisi, sehingga penerima bisa menukarkan kembali kacamata dan jika perlu memeriksakan kembali ukurannya.
Emosi yang Membuncah
Acapkali saya merasa nanar dan pasrah, saat ada sebuah harapan itu pupus. Seorang bapak jauh-jauh diantar cucunya untuk mendapatkan kacamata, namun nasib berpihak lain. Setelah diperiksa ternyata bapak ini menderita katarak. Kami memberi kacamata sepertinya tidak akan mengubah keadaan.

Tatapan pasrah dari bapak ini terlihat dari raut mukanya saat menerima kenyataan demikian. “Bapak jangan kawatir, data bapak sudah masuk di kami, jika nanti ada program operasi katarak gratis akan kami kabari” kata ketua tim kami. Serentak raut bapak ini berubah dan asa itu pun datang kembali. Entahlah kapan asa itu akan dipenuhi.
Awal September kami hadir di Demangrejo Kulon Progo, kemudian medio September berpindah di Solo. Kami hanya mengandalkan meeting point, selebihnya kami berjalan bersama-sama dan sudah tau apa yang harus dikerjakan. Suatu saat ada yang bertanya “tidak lelah?”. Saya menjawab “sangat lelah dan membosankan, namun senyum, kegembiraan dan syukur mereka sudah kembali melihat terang menjadi penawar semuanya, dan itulah semangat kami untuk terus melayani”.
