
Tetiba saya merasa kelu, lidah saya terbenam di tenggorokan saat berdiri di sebuah rumah dengan halaman berlantai terakota, berserakan daun-daun jati kering. Sesaat saya berdiri menatap dalam-dalam bangunan tersebut, entah mengapa segera saya menyingkir. Saya dan energi-energi yang berkelindan merasakan suasana yang sangat mencekam waktu itu. Siang ini saya bertandang di rumah Kapitan Lim Tjau Sing di rumah lawang ombonya.
Kapitan Lim
Bagi warga Lasem di Kabupaten Rembang tidak asing dengan Kapitan Lim. Sebuah rumah bergaya Fujian berdiri tepat di samping Kelenteng Cu An Kiong yang di depannya mengalir sungai Bagelen. Tempat tersebut menjadi salah satu simbol kejayaan Lasem pada masa lalu dan wujud perlawanan kepada Kumpeni-VOC.

Sebuah kesempatan langka saya dapatkan untuk bertandang di rumah dengan pagar bertembok tinggi dan gerbang bercat kuning. Masyarakat setempat menyebutnya dengan Lawang Ombo yang artinya pintu tinggi atau lebar. Benar itulah rumah Kapitam Liem.
Pada tahun 1800-an Kapitan Lim adalah syahbandar yang bertugas mengatur lalulintas perairan di Sungan Bagelen. Selain sebagai syahbandar, Kapitan Lim juga seorang saudagar, dan konon menjadi orang terkaya di Lasem pada waktu itu.
Sepak terjang Kapitan Lim memang menjadi cerita heroik hingga saat ini. Dia berani menentang kekuasaan kumpeni yang berbuat sewanang-wenang dan memonopoli perdagangan. Kapitan Lim secara terang-terangan memberikan perlawanan bersama warga Lasem.
Saudagar Candu
Untuk membiayai dan memersenjatai perlawanan, maka Kapten Lim menjadi pengepul candu (opium) yang didatangkan dari China pada waktu itu. Candu menjadi salah satu komoditi yang sangat menggiurkan pada waktu itu selain garam dan batik.
Gerbang kuning saya buka lalu saya “uluk salam” untuk meminta ijin. Saya sadar jika di dalam sana tidak ada yang menghuni, alias bangunan ini kosong. Saya memasuki teras rumah yang nampak berdebu dan nyaris lama tidak ada yang menyentuh rumah ini.
Lorong Candu
Kaki saya mengarah pada sisi kiri rumah. Bilah-bilah papan dibuka, dan ini yang saya cari. Lorong rahasia berbentuk vertikal. Inilah lubang untuk menyelundupkan candu pada waktu itu. Di Pelabuhan Bagelen pada waktu itu terdapat lorong-lorong bawah tanah yang menghubungkan sungai dan rumah-rumah di sekitarnya. Lorong tersebut digunakan untuk mengirimkan barang agar tidak diketahui oleh kumpeni.

Lorong ini menjadi saksi bisu, dan mungkin dia akan berbicara jika pernah menjadi jalur penyelundupan candu. Dari lorong di sisi kiri bangunan saya diajak ke bangunan utama. Sebuah altar pemujaan masih berdiri dan aroma hio masih terasa kuat.
Rumah Candu
Saya berdiri di tengah ruangan. Sebuah meja bundar dengan penutup kaca tepat di depan altar. Di bawah kaca terlihat koleksi pipa-pipa dari logam kuningan yang dulunya dipakai buat nyandu. Saya terkesima, barang yang berusia 200 tahun masih tersimpan dengan rapi, dan entah sudah berapa banyak orang yang teler dengan pipa tersebut.

Langkah kaki saya tertuju pada rumah belakang. Tetiba pemandu saya berkata “kadang di sana (sambil menunjuk jendela) akan ada penampakan sosok wanita berpakaian China“. Saya hanya melirik pemandu saya dan mengangguk saja dan entah mengapa saya tidak berani memotret ruangan tersebut yang ditunjuk. Ruangan tempat dimana keluarga Liem dihabisi dengan kejam oleh Kumpeni.
Lalu saya diajak di sisi rumah belakang yang merupakan pemakaman keluarga Lim. Pohon-pohon jati yang meranggas menggugurkan daun-daunnya. Daun-daun kering ini berterbangan dan berserakan. Kaki saya berjalan pelan seraya menyibak seresah. Saya tidak ingin mendengarkan daun kering yang terinjak kaki.
Beberapa batu nisan terlihat di samping rumah. Pemandu saya menceritakan jika inilah makam keluarga kaya raya tersebut. Sejenak saya merasakan suasan yang sepi, hening, dan pohon jati yang mengering menambah suasana nestapa pada waktu itu. “ckrakk” saya membidikan lensa saya di sebuah jendela dan segera saya lepas telunjuk dari tombol rana.

Saya berjalan pelan keluar, sesampai di pintuk berbalik arah dan menunduk takzim. Saya tersenyum ingin rasanya segera menutup pintu kuning tersebut. Di luar sana, teman saya masih terdiam mengatur nafas setelah tadi sempat ditunjukan slide-slide rekaman masa lalu. Saya hanya berbisik “saya nanti mau servis kamera“.
One thought on “Termangu di Rumah Candu”