Dalam sebuah kuliah tamu, saya pernah bertanya kepada Prof Hanny Wijaya ”prof apa sih sebenarnya definisi rasa enak itu, sehingga semua orang sepakat makanan a, b, c itu enak dan d itu tidak enak”. Prof Hanny adalah seorang pakar Flavor, atau pencitarasa dari IPB. Dari pertanyaan saya, beliau hanya menjawab ”pertanyaan yang bagus dan saya tidak tahu apa itu enak, mungkin bagi saya a,b itu enak, tetapi c kurang enak dan d sangat enak”. Kesimpulan sementara saya adalah, enak sangat relatif bagi individu namun begitu dominan bagi beberapa individu.
Sangat susah mendifinisikan rasa enak, lalu saya di sodori gambar 5 bayi yang berbeda lalu masing-masing bayi di beri perlakuan dengan memberi makanan; asin, manis, pahit, asam, dan tak berasa. Masing-masing bayi memberikan respon yang berbeda untuk masing-masing rasa. Untuk rasa manis, bayi terlihat riang, tetapi untuk rasa pahit wajahnya cemberut menandakan penolakan, begitu dengan rasa lain. Nah dari 5 ekspresi tersebut memiliki kesamaan untuk masing-masing bayi, jadi kelima bayi sepkat akan riang saat menikmati makanan manis dan ”kemecer” pada rasa asam. Kira-kira begitu para ahli menganalogikan rasa enak, tidak enak, kemecer dan lain sebagainya dilihat dari raut muka. Mengapa menggunakan bayi… sebuah pertanyaan muncul dan jawaban menggelitik ”mana ada bayi bohong, rasa tak pernah bohong..” jawan Prof Hanny.
Kemudian otak gatal ini bertanya kembali ”apakah kultur, geografis dan kondisi sosial berpengaruh terhadap rasa enak” dan jawan Beliau ”betul sangat mempengaruhi dan saling terkait satu sama lain”. Beliau mencontohkan, budaya orang Eropa atau Asia Timur gemar mengonsumsi minuman beralkohol, sebut saja ”bir, wine, sake, arak dan lain sebagainya”, tetapi bagaimana di Indonesia?. Yang terjadi saat ini adalah penyalahgunaan, saat di negara musim dingin minuman beralkohol sebagai penghangat, tetapi di tempat kita untuk mabuk-mabukan di udara yang panas. Secara geografis juga demikian, mengapa orang Jawa Tengan dan DIY suka makanan yang manis, tetapi Jawa Timur suka masakan Asin dan Padang suka yang pedes. Setiap daerah memiliki potensi masing-masing dan menjadi penciri makanan, contoh lagi orang Eropa suka Teh, Kopi atau Cokelat dalam kondisi pahit, tetapi orang Indonesia harus ditambah gula. Secara sosial, sangat berbeda dalam urusan makan-makanan enak. Mungkin yang lidahnya belum pernah makanan enak, lalu di kasih alpukat, campur mayones dan ditambah beberapa coktail tidak akan doyan, tetapi bagi yang lidahnya terbiasa makan enak ”kaya” akan terasa surga dunia berpindah di lidah. Mungkin juga orang kaya tidak akan bisa mengunyah dan menelan masakan Tiwul, Gaplek karena rasa tidak enak, eneg, tetapi mereka yang sudah terbiasa akan sangat lahap menikmatinya.
Kesimpulan terakhir dari rasa enak adalah soal kebiasaan. Bagi mereka yang makan biasa dengan sambal, dan jika tidak ada sambel ibarat ”bumbu tanpa garam” akan hilang rasa enak saat tidak ada sambal. Bagi mereka yang sejak kecil tinggal di Eropa lalu pindah di Gunung Kidul, mungkin lidah akan kesleo menikmati Nasi Jagung. Begitu juga mereka yang sejak kecil makan bebas cabai, begitu main di Padang siap-siap diare karena akan bertemu dengan cabai setiap kali makan.
Apakah akan masih berdebat warung makan a, b, dan d mana yang paling enak. Tergantung siapa yang menilai, dengan latar belakang kebiasaan, sosial, geografis, budaya dan selera. Tiap orang dengan lidah yang berbeda memiliki selera yang berbeda pula, dan masalah enak memang tidak bisa di paksakan. Mungkin calon mantu akan bilang enak saat calon mertuanya kasih sup yang agak asin, demi menjaga hubungan keluarga, tetapi bayi kang merem melek saat susu formulanya di tukar air tajin. Enak memang relatif, saya kira tidak usah berdebat ala chef mana masakan yang paling enak. Biarkan chef bekerja sesuai kepakarannya, dan kita yang tidak tahu cukup menikmatinya dan bebas berkata enak atau tambah lagi karena enak sekali.
salam
DhaVe
Ka, 300711, 11.40
Dhave…….enak itu tergantung situasi dan keadaan ……….
Enak itu relatif, Mas 🙂
salah 2nya mbah Kung 😀
emang….. hehehe…. relatif enak juga
enak itu klo bolak-balik ditraktir makan enak sama temen hihihi
Bagi mereka yang sejak kecil tinggal di Eropa lalu pindah di Gunung Kidul, mungkin lidah akan kesleo menikmati Nasi Jagung.” *wuah, jiannnn…. ckckckckck…
sing paling uenak iku… bar nguyak-uyak bal… ada temen datang trus bilang, “taktraktir sepuasnya!” mana pas tanggal tua gini..
sepakat sama sukmakutersenyum hag hag hag hag
itu paling enak sak ndonya
kesleo…. weeeeeeeeenaaaaaaaaaaak tenan nasi jagunge……. lebih lembut dari keju…wahyooooooo….hehehehehe 😀
iku enake wenaaak tenan…. hehehe :Dgak pedes ya Mo…
hore di traktir ngko horeee,,,,
ya setuju, kecuali memang sudah tahu masakan suatu daerah, dan tukang masaknya salah memasak sehingga rasa kurang pas baru bilang kurang enak
mencoba insaf meninggalkan makanan enak*ngurangi sambel* jebule yo tetep enak kok ben no ora nganggo sambel
biar kata banyak orang durian, nangka dan lengkeng itu enak, aku ndak doyan, bikin pusing, sama dgn sop buntut yg sampe diburu2, aku yo ndak doyan hehehehhe…
yang enak banget tuh… Di traktir makan enak tapi gak pake bayar sendiri alias di traktir. Hahahaha
nah itu perkecualian ya Om..hehehe 😀
hahaha…udah terkadung kapalan lidahnya
relatif kan kesimpulannya Sist…..
banyak temene kalo getu Sist hehehehee
Bukan hanya makanan, mas Dhave. Semua yang berhubungan dengan selera itu sangat relatif. Makanan, ya! Tapi kesukaan, hobby, kecantikan, keindahan, seni juga. Sangat relatif, makanya tak bisa diperdebatkan.
kembali ke relatif ya Om…?
hohoho.. salah satunya mas danang toh? :p
iyah ngaku dah…