mBah Dar Sudah Finish

Kring… kring… saya tekan bel rumahnya dimana di atas pintu ada tulisan “ADA”. Tak kunjung mendapat jawaban dari tuan rumah. Semantara itu tepat di depan rumahnya melaju lambat mobil jenazah dengan sirine memekakkan telinga. Tuan rumahnya sedang dihantar menuju podium keabadian yang menjadi garis finis kehidupannya setelah berlari sepanjang hayatnya. mBah Dar selamat jalan.

14 Juni 2013, sudah 10 tahun sudah saya mengenal beliau secara pribadi. Sosok legendaris di Kota Salatiga yang terkenal sebagai pengayuh becak dengan segudang prestasi. Sampai akhir hayat, sepertinya ada 170 medali pernah melingkar di lehernya. Medali bukan sebagai penamat, tetapi berdiri di podium, sebagai seorang pelari prestasi, bukan rekreasi.

Malaysia, Singapura, Australia, dan Chile menjadi ajang internasionalnya, dan emas di raihnya. Sosok rendah hati dan bersahaja yang selalu murah senyum. Setiap pagi saya selalu menyapa saat berangkat kerja.

Kemarin pagi saya lewat “mbah Dar kok tidak ada“, siangnya saya menerima kabar duka jika beliau baru saja berpulang. Pagi ini sebelum saya menulis, saya lewat jalan yang sama, saya tegur beliau berharap ada becak dengan bendera merah putih dan bertuliskan lari pagi dan marathon. “mBah Daaaaaar….” pekik saya seraya melambaikan tangan. Kini sosok itu sudah tiada.

Tahun 2014, saat mendampingi beliau terbang ke jakarta untuk shooting di Kompas TV saya ingat persin saat masuk ruang pemeriksaan bandara. Tas beliu yang motif loreng TNI diambil petugas dan beliau digelandang ke ruangan. Saya dampingi beliau saat ditanya petugas “isinya apa ini?” tanya petugas. “Ini medali saya, saya diundang ke Jakarta untuk wawancara di Kompas TV”. Terpaku beliau dan langsung hormat “mas tolong fotokan saya”.

Tampil di Kompas TV.

Usai pengambilan gambar, kami diundang makan oleh komunitas pelancong. Tetiba saya mendapat telpon lagi dari Kompas TV dan ditanya “mBah Dar ada mas, saya mau ajak belanja perlengkapan lari“. “mBah Dar, saya dapat telpon dari Kompas TV, mBah Dar dipanggil, sepertinya ada yang salah tadi mBah Dar waktu wawancara, saya ngga ikut-ikutan loh mBah“, keusilan saya muncul. Mbah Dar pucat wajahnya, dan sesaat kemudian Presenter Cindy Sistiriani dan kru datang dang menghamppiri dan mengajak mBah Dar. “Dadah mBah Dar…” salam saya sambil cengengesan. 30 menit kemudian mBah Dar diantar kembali ke tempat kami kumpul di FX Senayan sambil bilang “mas saya dibelikan sepatu lari, suruh milih sendiri, sama baju dan kaos kaki” sembari menunjukan sepatu warna oranye merk Nike. Tahu sepatu mahal juga ini mBah Dar.

Malam di kamar hotel, saya mencoba tidur awal karena besok harus terbang pagi. Pukul 02.00 mBah Dar terisak menangis sembari memegang remote tv “kenapa mbah Dar?” tanya saya. “Saya ingat istri saya yang pertama, ceritanya persis, saya diceraikan“. Wadalah mbah Dar, saya ambil remotnya saya matikan tv-nya. “mBah, istirahat saja, lupakan istri pertema, kan ada istri di rumah, besok selepas subuh kita ke bandara“.

Di pesawat, dia menerawang di keluar jendela. “Kenapa mBah..?”. “Saya teringat saat tanding di Malaysia, pesaing saya dari India. Saya lari paling depan, tetapi panitia penunjuk jalan belum datang dan saya keluar jalur. Padahal jarak saya 200 meter di depan, saya dapat perak, dan tahun berikutnya saya balas dan saya dapat emas“.

Sosok pelari yang tidak mau kompromi karena tujuan berlari adalah podium. Sosok yang saban hari berlari 12,24 km dari rumah sampai pangkalan becaknya, kemudian pulang dengan cara yang sama. Kalau enggan berlari, makan akan naik sepeda federalnya, atau naik omprengan. Becak menjadi separuh hidupnya, tidak sekedar mencari uang, tetapi ada spirit yang dia jaga yakni terus berlari, sehingga becaknya penuh dengan ornamen lari.

Kemarin sore saya menghantarkan beliau untuk menghadap sang Khalik sekaligus bersanding dengan istrinya yang sudah mendahului 2 tahun lalu. Dalam suasana duka, saya melihat sosok mantan ketua KONI Kota Salatiga, yang sekarang menjabat ketua DPRD ikut menghantar dan mengiring. Dia sempat cerita ke saya “saya pernah sekamar dengan beliau“. Datang juga kolega larinya, pak Mukson yang bercerita sekamar dengan beliau “sama sama orang tua“.

Mbah Dar, engka sudah mengakhiri pertandinganmu dan sudah dapat medali keabadian. Istirahatlah dengan penuh damai, biarlah apa yang menjadi tinggalanmu menjadi ispirasi bagi kami agar kami terus berlari dan berlari. Senang bisa bersamamu… salam buat ibu…

Leave a comment