Belajar Ngopi tentang Kopi

Satu dasawarsa lalu, sebuah lahan tandus dan berbatu mampu disuburkan menjadi lahan pertanian yang produktif, yakni dengan tanaman kopi. Sekarang kopi tersebut telah berbunga dan berbuah, bahkan di tengah kebun sudah berdiri dengan asri kafe yang menyajikan kopi. Itulah sekelumit kisah saya menanam kopi, tetapi bukan di lahan sendiri, sebab sedang membantu rekan yang sedang membuat tesis untuk S2-nya.

Berkenalan dengan kopi sebenarnya saya sudah kenal sejak kecil. Teringat dikala membantu nenek memetik buah kopi, lalu menjemurnya. Setelah kering lalu menumbuk dalam lumpang batu, lalu di-interi guna memisahkan kulit dengan biji. Setelah itu disangrai dalam kuali tanah liat. Biji-biji kopi tersebut dicampur dengan sedikit beras yang telah direndam semalaman. Usai disangrai hingga menghitam, lalu ditumbuk di lumpang dan diayak. Bubuk kopi lalu dimasukan dalam kantong plastik dan siap untuk dibagikan.

Meskipun sejak kecil sudah kenal kopi, hingga hendak kepala empat, saya belum bisa mengerti apa itu kopi dan dimana nikmatnya. Mindset saya masih terjebak, jika kopi adalah minuman para pemalas. Bagaimana tidak, saya memiliki beberapa tetangga yang minum kopi rerata mereka bangunnya siang, menganggur, dan hari-harinya dihiasi dengan kopi. Racun novel Andrea Hirata, terlebih yang berjudul Buku Besar Peminum Kopi semakin menegaskan, siapa sosok-sosok peminum kopi. Itu menurut saya.

Kali ini saya tidak bisa mengelak. Tempat saya bekerja menugaskan untuk meneliti kopi. Permintaan yang sulit untuk saya tolak, tetapi pertunjukan ini harus tetap berjalan. Pelan-pelan saya menyesap informasi tentang kopi, dari novel Filosofi Kopi sampai film-nya. Acapkali juga menyeruput kopi, meskipun kadang lidah ini tercekat dan enggan untuk menelan. Ini riset, apapun harus dirasakan dan ditelan, bahkan harus lebih dari para penikmat kopi yang pilih-pilih jenis kopi.

Hari itu saya bertemu dengan Bimo, anak dari Pak Ismadi yang 10 tahun lalu menjadi tempat studi teman saya. “Ini kopi spesial buat mas Dhanang” sodornya. Segelas kopi hitam pekat atau kita sebut kopi tubruk lengkap dengan cawan di bawahnya. Bimo tahu jika saya tidak minum kopi, tetapi dia bilang spesial. SUdahlah, saya minum saja. Sruputan pertama, kedua, dan habis. “Mas Bim, kopi apa ini?” tanya saya. Sosok badan besar itu hanya menjawab “kopi buat yang tidak suka kopi yang harus ngopi“.

Apa yang saya lakukan barusan mirip dengan yang saya alami saat tugas di NTT di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pagi yang dingin saya bertamu di sebuah rumah, dan disuguhkan kopi dalam cangkir loreng. Biar urusan cepat selesai, segera saya habiskan secangkir penuh kopi. “Ai Tuhan, mas sudak minum kopi ternyata, Mama tambah dan kasih tuang di gelas mas Jawa!“, cilaka saya.

Satu lagi kisah kopi. Saati itu saya tugas di Pulau Enggano di Bengkulu. Saya harus mewawancarai seorang tokoh masyarakat yang konon katanya galak dan suka memalak. Benar saja, memang demikian orangnya. Intan rekan penelitian saya yang sekarang sedang S3 di Leiden-Belanda bilang “mas kasih kopi, semua beres“. Benar saja dengan sebungkus kopi tubruk 200 gr, semua pertanyaan saya dijawab dengan lancar, bahkan semua dokumen digelar di lantai-pilih sendiri.

Dalam riset saya, saya diminta untuk mengolah kopi menjadi kopi luwak secara invitro. Saya sudah memelajari lama sekali metode tersebut, bahkan sudah mengkulturkan mikroorganisme mirip dengan pencernaan pada luwak-musang (Paradoxus hermaproditus). Mungkin saya lebih tertarik pada fermentasinya, dan tidak peduli dengan kopinya. Sebab tahun 2016 saya riset fermetasi cokelat guna meningkatkan aroma dan rasa, dan kali ini kopi. Saya tertarik pada bagimana kerja mikroorganisme jika diberikan makanan pulp cokelat apa kopi.

Fermetasi pada kopi tidak semata-mata memberikan paparan mikroorganisme pada kopi, tetapi ada perlakuan-perlakuan lain juga seperti pengkondisian suhu, keasaman, oksigen, dan lain sebagainya. Dan akhirnya, kopi-kopi seperti tape berhasil dibuat, dan saatnya diberikan pada orang-orang yang mengenal betul dengan kopi.

Siang, itu kami janjian dengan seorang roaster atau tukang sanrai kopi. Rafael, anak muda dengan badan tegap menyambut kami di kafe Arah di Kota Lama-Semarang. Dia menunjukan mesin sangrai mininya seharga 20 jutaan, yang digunakankan untuk profiling kopi. Dia menjelaskan dengan detail mesin tersebut, berikut dengan parameter. “Untung roasting perlu diperhatikan, suhu, tekanan udara, dan tekanan gas-nya. Cuma 3 itu saja, mirip dengan memotret diafragma, kecepatan rana, dan ISO”. Hal yang simpel menurut saya.

Rafael kemudian mengeluarkan selembar kertas. “Ini form profiling kopi, ada suhu, ROR, tekanan udara, dan catatan. Untuk mendapatkan kopi yang baik harus mengikuti pola mirip tapal kuda. Yang perlu dijaga adalah suhu udara, bisa memainkan air flow, atau tekanan gas. Satu lagi, kita harus peka dengan aroma, warna, dan suara kopi. Kita mulai dengan dehidrasi, mailard, caramelisasi, dan pirolisis. Nah nanti kita hendak membuat kopi seperti apa, apah medium, dark..?” Otak saya sepertinya berhenti sesaat begitu mendengarkan dia berkata-mailard.

Kosakata mailard itu identik dengan orang teknologi pangan, tetapi pas buat dia yang jebolan Teknologi Pangan-Unika Semarang. Fasih sekali menjelaskan tentang kadar air dan aktifitas air, lalu reaksi pencoklatan, hingga sukrosa dan fruktosa yang menjadi karamel, hingga terbentuknya sisa-sisa karbon. Begitu juga dengan istilah rasa dan aroma yang dijadikan satu menjadi falvor yang terjemahannya adalah aroma yang bisa menggambarkan rasa.

Roasting berjalan, dan setiap menit dia mencatatat dan sembari membuat pola grafik. Jika ada anomali suhu, suara, dan aroma dia sudah paham apa yang harus dilakukan. Satu lagi yang hampir lolos, Rafael begitu detail menanyakan identitas kopi, dari mana, jenis apa, ketinggian berapa, pasca panen bagaiamana, kadar air berapa, densitasnya berapa, sembari menggenggam dan mencium green bean.

Akhirnya kopi selesai disangrai lalu menimbang untuk mengetahui berat akhir sekaligus berapa air yang hilang. Selesai sampai di sini, masih jauh dari apa yang ada di pikiran saya. Kopi memiliki puluhan teknik dalam menyeduh dan menyajikan. Masing-masing akan menonjolkan karakternya dan itu yang akan menjadi pilihan para penikmat kopi, bukan peminum kopi-katanya.

AKhirnya, kopi diseduh dalam saringan dan dibawahnya ada es batu. Yang benar saja minum kopi pakai es. “Kopi itu enak saat masih panas, aromanya keluar dan begitu jugas rasanya bisa disesap ketika hangat. Saat dingin kopi itu akan kehilangan rasa dan aroma, dan kopi yang terbaik yang masih bisa dicium dan dirasa“. Sebuah form ditunjukan, ternyata ini lembaran untuk uji organoleptik. Saya pahami apa makna dari semua tabel, tetapi lidah saya tidak jago mengenali. Untuk menjadi panelis terlatih harus terpapar kopi dan memahami karakternya, baru bisa menilai. Bai saya kopi adalah minuman yang tidak ada pilihan.

Saya bertanya, kopi yang enak secara subyektif itu yang bagaimana?. “Kopi yang tidak terlalu asam, bodinya kuat, ada aroma bunga” jawabnya. Kopi adalah subyektif, ada yang suka sachetan, tubruk, instan, bahkan yang harganya mendekati ratusan ribu persajinya. Kembali ke selera masing-masing orang dan tidak bisa dipaksakan, tetapi secara umum kopi ya pahit, hitam, dan aromanya khas. Untuk memudahkan, dibuatlah diagram kopi. Kopi secara dasar ada 3, kemudian berkembang dengan banyak varian dan sub variannya yang semakin tipis dan susah dibedakan, jika tidak terlatih.

Berlanjut, jika kopi hanya diungkapkan melalui ekspresi yang subyektif kualitatif, lantas bagaimana dengan angka. Rekan riset saya, Pulung Nugroho yang akan memainkan angka pada kopi. Meminta saran saya untuk ekstraksi kopi tanpa ada kandungan airnya. Benar saja, dia ingin menjebak senyawa-senyawa aroma dan rasa, yang kemudian akan diprofiling dengan GCMS. Sebuah alat yang bisa mendeteksi molekul-molekul dari senyawa yang volatil atau mudah menguap. Dengan alat ini tidak ada aroma yang lolos dari kolom saat diendusnya. Aroma akan dicatat sekaligus dihitung berapa jumlahnya.

Dengan data profiling kopi enak, bisakah dibuat sintesisnya-sepertinya tidak ada yang tidak mungkin. Perusahaan besar seperti PT.Indesso Aroma adalah mainan sederhana untuk meracik aroma apalagi yang mudah dikenali. Saya mengenal perusahaan tersebut yang memiliki kepakaran dalam bidang aroma.

Sebenarnya profiling kopi bukan buat mengakali kopi, tetapi melihat potensi kopi untuk dikembangkan lalu diperhatikan budidayanya, pasca panen, pengolahan, hingga penyajian. Ini yang terpenting, agar kopi-kopi yang semuanya menurut saya adalah istimewa agar tidak salah kelola dan penyajian. Dengan demikian, kopi yang konon katanya ecek-ecek atau murah bisa tetap diberi nilai agar harganya naik. Bagaimana caranya, tunggu cerita saya selanjutnya.

Leave a comment