Salatiga Merah Meriah

Tang… malam sudah tiba, tang… tutup pintu jendela… tang…“. Demikian suara yang menurut saya sangat “nggegirisi” atau mencekam dari sekawanan penjaga malam yang keliling dari gang-gang pecinan. Terlebih jika dukun Lam Ching Ying sudah siap dengan kertas kuning dengan rajah warna merahnya siap untuk menangkap vampir. Namun, kecemasan sirna manakala Richard Ng memainkan perannya, dan kali ini sepertinya digantikan oleh PLT Walikota Salatiga, Sinoeng Noegroho Rachmadi.

Baru kali ini saya melihat sosok berpakaian Tiong Hoa namun dengan kulit gelap berjalan sepanjang jalan protokol Kota Salatiga. Walikota bersama istri yang totalitas ikut merayakan Cap Go Meh, 2 mingug usai Imlek begitu antusias melayani warga yang hendak berjabat tangan dan berswafoto.

Salatiga yang multi etnis dan sangat menjunjung keragaman, dimana perbedaan itu justru jadi tontotan dan hiburan. Jika seminggu sebelumnya Salatiga penuh dengan warga NU yang memadati tengah kota merayakan HUT NU ke-100. Sepekan kemudian warga keturunan Tiong Hoa yang merayakan Cap Go Meh.

Dua jam sebelum arak-arakan saya sudah survey lokasi untuk melihat pawai Cap Go Meh. Bundaran Taman Sari yang menjadi landmark Salatiga menjadi pilihan saya. Saya berpikir ini adalah spot istimewa, namun semua orang mungkin berpikir seperti saya-penuh dengan fotografer.

Usai walikota Salatiga menjadi cucuk lampah atau pembuka jalan, datang iring-iringan budaya khas Tiong Hoa. Kostum yang identik dengan 2 warna mayor yakni merah dan kuning, nampak mencolok dengan warna jalan yang hitam kelam. Warna yang menjadi pembeda, begitu juga dengan tabuhan genta yang membuat telinga menjadi pekak, kadang ada bunyi susulan-ngiiiing.

Akulturasi budaya Tiong Hoa nampak kental. Bagaimana tidak, banyak pemain barongsai dan liong-naga wajahnya mirip orang-orang pribumi, nyaris tidak ada sipit-sipit atau kulit cerah. Inilah yang membuat saya terpana, ternyata pesta ini bukan saja milik orang China. Kebetulan teman sekantor saya, yang asli orang Jawa dari Sragen dan Ambarawa memiliki putri memainkan kepala barongsai.

Iring-iringan patung Dewa atau disebut Kong Cho disertai bakaran hio berjalan bergantian. Begitu juga dengan sosok-sosok yang dianggap heroik dan dianggap role model seperti Hakim Bao sebagai penegak keadilan dibuat dengan ukuran besar dan diarak. Bagi saya ini adalah simbol-simbol yang dijadikan panutan dalam kehidupan.

DI tengah arak-arakan tetiba terdengar alunan gamelan. Yang benar saja, rombongan reog ikut memeriahkan acara ini. Inilah yang menarik di Salatiga beragam budaya juga menyatu, begitu juga yang terlihat Cap Go Meh di Singkawang, warga Dayak di sana juga berpartisipasi. Mungkin juga di daerah lain di Indonesia.

Leave a comment