Menulis, sebuah peninggalan kebudayaan masa lalu yang masih dipertahankan. Dari mulai simbol hingga berkembang menjadi huruf-huruf digunakan untuk menulis. Dari mulai dinding batu, lembaran papyrus atau kulit hewan kemudian berkembang menjadi kertas dan sekarang berada dalam ranah digital menjadi media tulis. Menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah kebudayaan menulis menjadi sesuatu yang bermakna atau berbobot.
Tulisan dikatakan bermakna dan memiliki nilai, jika tulisan tersebut memberikan informasi yang penting. Mungkin tulisan manusia purba di dinding goa-goa atau banngsa Mesir didalam pyramid begitu berharga, walau sangat sederhana adanya, karena memberikan informasi yang penting tentang masa lalu. Tetapi bagaimana dengan tulisan dengan penghapus tinta ”tip-e.., stip..” atau cat semprot di bangku atau tembok taman-taman kota, bahkan di kursi bus umum?. Tulisan yang dikenal sebagai wujud vandalism seolah tak bermakna dan memiliki bobot, karena tidak memberikan informasi, bahkan bersifat mengganggu estetika dan merusak.
Dahulu saat mesin fotocopy masih jarang ditemui, buku teks barang langka, maka mencatat adalah solusinya. Para siswa dibangku sekolahan hampir tiap hari menari-nari diatas kertas bergaris untuk menyalin buku mata pelajaran atau dikte dari guru. Tulisan yang begitu berharga pada masa itu, karena semua rangkuman pelajaran ada disana. Saat ini dengan berkembangnya teknologi alat tulis digital, budaya menulis untuk menyalin buku atau guru yang mendikte sudah digeser oleh peralatan. Dari mulai foto copy, copy-paste, hingga e-book seolah mengurangi jam terbang untuk menulis.
Mungkin banyak orang jaman dahulu memiliki tulisan tangan yang rapi dan indah, karena itu satu-satunya cara agar tulisan mudah terbaca. Saat ini bagi mereka yang terbiasa menulis diatas key-board, mungkin tulisan tangan tak sebagus mereka yang biasa menarikan jemarinya diatas kertas atau ”blabag” papan tulis. Saya termasuk salah satunya, hampir 12 tahun dan setiap hari menulis didepan layar komputer, atau telpon genggam seolah telah membunuh karakter tulisan tangan. Lewat media digital, apapun bentuk tulisan bisa diruban bentuk dan karakternya ”font”, tetapi tulisan tangan adalah simbol kepribadian.
Saat saya di bangku sekolahan ”SMA” akan dengan mudah menebak ini tulisan siapa dari tiap-tiap teman di kelas yang berjumlah 40 siswa. Tulisan menjadi penunjuk profil siapa empunya, sehingga semua bisa tahu siapa penulisnya. Sekarang dunia telah berubah, yang namanya ujian tertulis sudah berpindah dari media kertas menjadi papan tombol qwerty, saat usai di kumpulkan kini hanya tinggal mencet tombol ”send”.
Namun, dibalik tulisan digital masih saja bisa ditemukan karakter-karakter tiap penulisnya. Bagi mereka yang jeli, akan dengan mudah menentukan siapa penulisnya, lewat gaya bahasa, diksi atau tatanan penulisan. Unsur orisinalitas atau pelanggaran plagiasi dengan mudah bisa diketahui, lewat rangkaian kata dan untaian kalimat. Memang tulisan menunjukan kakakter walau telah berpindah media. Menjadi pertanyaan sekarang, saya yakin ”buta huruf” sudah sangat sedikit dan hampir semua orang bisa menulis, tetapi seberapa besar dan berbobot tulisan tersebut?.
Kita tidak tahu akan kondisi jaman, atau orang Jawa bilang ”wolak-waliking jaman”. Mungkin lewat menulis, ada sesuatu yang bisa kita bagikan, tinggalkan sehingga semua apa yang kita ketahui bisa terekam. Banyak orang memiliki kemampuan lebih, namun tidak menuliskan kemampuan tersebut, ibarat guru silat yang dipendam dalam benak dan ingatan. Tetapi banyak pula yang berotak pas-pasan namun gemar menulis, dari dinding WC umum hingga uang-uang kertas yang tidak sedap dipandang. Nah budaya menulis yang bermakna dan berbobot sepertinya harus terus di upayakan, sebab lewat tulisan kita bisa berbagi dengan sesama. Menulis yang baik, bermakna dan bernilai walau satu kalimat lebih baik daripada tidak sama sekali atau banyak kata tetapi vandalisme.
salam
DhaVe
aku masih nulis dgn tangan sekarang, meski cuman nulis nota ama itung2an ringan ajah :)))emang sih, kalo liat buku aku dulu, namanya buku catatan itu penuh, semua isi tulisan, buku anakku buku catatannya kosong, karena dikasih foto copian..emang sih kalo waktu mencatat itu diganti ama fotokopi kan lbh efisien, ndak habis waktu buat mencatat, bisa buat yg laintapi biasanya kalo tulisan itu dicatat sendiri, lbh cepet ingat drpd ngapalin dr fotocopi.
Saya masih lho! Malah punya catatan sendiri di saku. 🙂
setuju 🙂
aku sendiri jarnag nulis tangan, jadinya jelek eui kl nulis tangan 😦
sejak masuk hutan aku rajin nulis tangan om..mesin ketike di rumah, harus nuggu cuti kalo mau make…
nah Sudah berpengalaman di bidangnya ini…catat itu selain masuk di otak juga masuk di hati loh Bu…. 😀
weh kaya orang “tasik” yang kredit panci yah hehehhehe :Dapa detektif conan…eh pramuka siaga hehehe
sepakat Bu….
sama dunk :(jangan-jangan sms juga gak pede nie…tulisane jelek
hahaha… setuju dan sepakat….Om rawins… awas bentol di cokot lemut
bentol..? emang nulis tangane dimana..?
hehhe gara gara kompi jadi tulisanku jelek dan cepat pegal….tp saya lancar keyboard gundul *pamer halahhhhhh
Di kalimat ini kunci karangan mas Dhave, betul?
Mulailah menulis di FB atau Twitter. Beres, deh!
aku iseh nulis ik, wong direwangi tuku buku tulis opo kertas bergaris isine loose leafkalo ngomong soal nilai, tulisanku mungkin ga da nilainya cuman draft kasar bahan posting Mp thok, tapi ketika sudah berlalu lama sekali dan dibuka lagi ngeliat coret2an tulisan yg salah rasanya gimana gitu….. ^_^
bentol… ntuh jadi inget nyamuk di mess mas…..postingan kemarin yang nyamuke segede gajah bengkak
wahaha…ada temene akuh heheh
makasih Om Hardi…
saya juga sambillan disana kok…
pake buku halus strip 3 mbak..?
ora kok, buku kotak2 sing 1cm kae lho 😛
hahaha…masih usum yah?