
Suatu hari saya bertemu dengan orang tua mahasiswa. Dia komplain dan mengeluh tentang anaknya yang kuliah yang setiap hari mendapat tugas dari dosennya. Dia melihat anaknya begitu lelah dan terbebani dengan tugas-tugasnya, yang dia rasa tidak manusiawi. Anaknya juga ngeluh, setiap tugas yang dikembalikannya penuh dengan coretan dan kadang-kadang tanda silang besar dan harus diulangi.
“Bukankah dosen itu tahu kalau mahasiswa sudah mengerti dan paham, tidak perlu diberi tugas apalagi sudah menguasai. Yang kedua, dosen itu kasih nilai kan tidak perlu beli atau bayar, kasih tinggal kasih saja, kenapa nilainya pelit sekali, bahkan kadang tidak di luluskan. Kasihan anaknya jika harus mengulang, karena konsekuensinya adalah waktu dan harus membayar ulang. Belum lagi kalau nanti lulus, IPK-nya rendah, padahal bisa saja dosen kasih nilai yang tinggi biar IPKnya tinggi juga, toh ya gratis“. Saya dengarkan keluhannya.
Saya mengangguk, diam, tarik nafas panjang. Kebetulan di atas meja saya ada sebuah batu kali yang dulu saya pakai buat ganjal pintu. “Bapak mau beli batu ini, saya mau jual sejuta?” kata saya. “Semahal itu, apa istimewanya batu ini” tanya dia sambil mengelus-elus batu kali tersebut. “Batu ini bisa dipakai untuk melempar kaca kantor depan itu agar pecah” jawab saya. “Ah kalau cuma mecahin kaca, gak perlu pake batu semahal ini, di pinggir jalan banyak batu pak dan gratis” jawabnya. “jadi bapak mau beli ngga batu ini?” tanya saya kembali, “ngga mau saja, gila apa” jawabnya.
Lantas saya tunjukan koleksi patung saya, masih saya bungkus dengan plastik buble. “Pak, percaya harga patung batu ini sejuta, saya beli di pameran” tanya saja. “Ya saya percaya, lha wong pahatannya bagus, artistik, halus, dan ini barang tiada duanya sepertinya” jawabnya. “Andai kata, batu ini saya kasih bapak buat nglempar ayam yang masuk halaman rumah gimana pak..?” tanya saya. ” Yo jangan, barang mahal ini, antik dan berseni“.
“Ok clear ya sampai di sini, masalah bapak selesai?” tanya saya. “Selesai bagaimana, ini anak saya gimana nasibnya, kok malah bicara batu, ora nyambung..!” sanggahnya seperti emosi.
“Jadi begini pak, saya nitip batu ini yang bulat, tolong bapak buat jadi patung, nanti saya belikan pahat dan palunya. Toh bikin patung gratis, ngga mbayar, lah semua bahan saya sudah saya siapkan. Bapak duduk dan tinggal pukul-pukul saja, sampai jadi barang yang istimewa dan kalau bisa dijual laku satu miliar lah” tanya saja kemnbali. “Maksudmu apa pak?” dia mulai ngegas. Kasih waktu saya bicara sebentar, santai pak.

Beberapa waktu lalu saya diberi batu pak. Tidak tahu laku berapa kalau dijual, sepertinya ditaruh di tepi jalan juga tidak ada yang mengambil. Lalu boss saya bilang “bikin batu ini menjadi mahal harganya kalau dijual“. Batu tersebut saya ukur, saya amati kira-kira diapakan. Lalu saya belajar membuat pola, memahat, dan mengukir. Setiap kali membuat, bentuknya jelek, lalu saya buat ulang lagi, sampai saya merasa yakin saya bisa membuat patung yang bagus dan diakui. Singkat kata saya berhasil membuat patung dan mendapat pengakuan, bahwa patung saya laku dijual. Lantas saya membentuk batu yang diberikan saya, saya pukul, saya gorek, saya cungkil, saya ampelas, hingga menjadi batu yang diinginkan. Proses saya bisa membuat patung tersebut juga tidak gratis, saya beli palu, pahat, ampelas, gerinda, termasuk tensoplas karena kuku saya lepas kena martil. Ada waktu yang saya korbankan, bahkan darah juga keluar. Bapak mau, anak bapak yang dipercayakan pada tukang pahat seperti saya itu hanya saya berikan label lulus dengan IPK magna cumlaude? Saya bisa saja memberikan apa yang bapak inginkan dan mau, nilai, IPK, atau bebas tugas, dan yakin ada mau memakai dia? Jangan-jangan hanya di tepi jalan seperti batu dan tidak ada yang melirik, paling hanya diinjak, kalaupuan dipakai hanya buat ganjel roda atau buat lempar anjing. Bikin patung tidak mudah pak, butuh waktu, dan yang penting paham karakter dari batu sehingga masing-masing batu itu berbeda penanganannya tidak asal hajar pakai palu. Setiap anak adalah istimewa, dia adalah bahan mentah yang bisa dipahat menjadi sangat berharga, dan itu butuh proses dan tidak gratis ada biaya dan waktu yang harus dibayar. Anak perlu dipahat, dipalu, dipotong, bahkan harus diampelas. Monggo saya kembalikan batunya dan bapak pahat sendiri, atau biarkan kami yang memahat? Tidak usah nangis Pak…? di luar sana banyak batu yang datang ke saya untuk dipahat, antri.