Nyasar di Gunung Sindoro

Takut, putus asa, kedinginan, kesepian, keterasing, marah, sepertinya emosi manusia tercurah semua dan ingin rasanya menyarah. Hingga pada satu saat terlelap, gelap dan setelah itu perlahan semburat surya mulai nampak. Saya selamat di pinggang Sindoro.

Medio tahun 1999, saat dunia pendakian masih sepi. Kami berempat ingin survey jalur pendakian. Kegiatan ini tidak semata-mata mendaki, tetapi memetakan jalur dan membetulkan jalur untuk pendakian kami berikutnya.

Pukul 19.00 dalam rintik hujan kami keluar dari base camp Kledung yang jaraknya tidak jauh dari jalan Wonosobo-Temanggung. Di bawah rinai kami berjalan beriringan menuju pos bayangan 1 lalu lanjut bayangan 2 dan 3, barulah kami sampai pos 1.

Menjelang pos 2 salah satu rekan kami menyerah. Kepalanya pusing dan mual. Kami menghentikan pendakian lalu membuka tenda. Pukul 10 malam, saya ingat persis waktu itu. Beberapa saat kemudian, teman kami membaik dan diputuskan membagi 2 tim.

Saya dan 1 teman melanjutkan perjalanan, sedangkan satunya menemai rekan kami di tenda. Semua perjalanan lancar, dan sampailah pos 3. Di pos 3 kami ketemu rombongan pendaki, dan inilah awal petaka bagi saya.

Rencana awal kami memutuskan menjelang fajar baru akan summit, karena tinggal 1,5 jam perlanan dan saat itu masih tengah malam. Ajakan rombongan lain yang membuat rekan saya ikut. Saya tetap pada rencana semula, nanti pukul 4.30 baru akan naik.

sendirian di pos 3 sembari membuat perapian kecil. Tetiba rintik hujan turun. Api padam. Pos 3 tidak ada tempat berteduh. Bagaimana mungkin saya bertahan di bawah rintik hujan yang semakin deras.

Tangan saya mencoba mencari senter, sial terbawa teman. Hanya korek gas yang di tangan. Pertimbangan saya, percuma saya naik tanpa penerangan, bunuh diri juga di sini dalam keadaan hujan, jika pun turun saya masih hafal meskipun dalam keadaan gelap, minimal mengurangi risiko. Rekan saya, masih bersama tim lain masih cukup aman.

Saya berjalan dalam gelap buta. Yang saya rasakan, saya mengikuti aliran air hujan. Saya harus terus bergerak agar tidak kedinginan. Sesekali kilatan petir membantu saya mengamati medan. Tangan meraba batu dan tanah yang halus terkikis aliran hujan. Saya ingat persis jalur ini, karena memang lewat aliran air.

Sampai pada satu titik, saya berhenti. Tidak tahu harus kemana. Saya meraba jalur, tidak jelas arahnya. Saya naik turun untuk mencari jalur yang benar. Selasi sampai di sini. Badan saya basah kuyup. Makana kecil saya jejalkan di mulut guna menambah kalori sembari meneguk air putih dari veld ples.

Sebuah batu besar berdiri di depan saya. Dengan susah payah saya memanjat dan sampai di atasnya. Saya tidak kemana-mana. Dalam gelap saya tidak tahu ini pukul berapa, hanya tahu di atas sana bintang sudah terlihat. Saya hanya bisa mengenali arah.

Saya diam, menunggu, semakin lama semakin dingin. Saya hanya berpikir, nanti kalaupun ada yang mencari atau menemukan saya akan sangat mudah, saya di tempat terbuka di atas batu. Saya merebahkan badan sembari menatap langit, mengutuki diri kenapa sampai di sini, kadang juga tertawa, apakah saya gila?

Semakin dingin, badan menggigil. Saya cari di ransel kecil saya. Yang ada hanya selembar kertas peta jalur pendakian, korek yang sudah tidak berfungsi, makanan kecil dan setengah botol air. Saya tiduran sambil mengunyah dan gertakan gigi mulai terdengar. Saya tertidur lalu bangun dan masih gelap.

saya memaksakan, jangan tidur-jangan tidur, terlelap lagi dan bangun lagi. Jangan tidur-jangan tidur kembali terlelap. Lelah mengingatkan, agar jangan tidur. Akhirnya hilang dalam gelap malam.

Antara mimpi atau halusinasi. Terlihat secercah cahaya terang dan suara orang teriak-teriak “sanres sanres sanres”. Otak saya masih berdebat, ini masih gelap saya sedang ngimpi atau halusinasi. Saya masih menyangkal dengan apa yang saya lihat dan dengar. Apakah Tuhan mengirimkan mujizatnya..?

Saya mencoba berdamai dengan separo alam bawah sadar saya, baiklah mari kita masuk alam mimpi. Saya duduk, berdiri sambil teriak “bangsaaat kowe neng kene to, koncomu kademen meneng wae, celeng” saya lompat dari batu dan persis ada tenda yang semalam saya pasang.

Baru kali ini saya cerita…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s