
Pada musim hujan, air sungai akan berwarna kuning kecoklatan. Asumsi yang muncul di benak kita, di hulu terjadi erosi sehingga material tanah, lempung, batuan akan ikut terbawa aliran permukaan menuju sungai. Asumsi yang benar, pertanyaan selanjutnya bagaimana jika musim kemarau dan tidak ada hujan?
Hujan di Musim Kemarau
Hari yang terik. Saya terpana melihat sebuah aliran sungai di Pulau Sumatra. Airnya mengalir tenang dan nyaris tiada riak dan ombak. Yang membuat saya terpana, warna airnya kuning. Otak saya berpikir, apakah di hulu sana sedang hujan di musim kemarau?
Kembali saya melanjutkan perjalanan untuk mencari tahu dimana hujan itu turun dan lokasi erosinya, siapa tahu ketemu. Kebetulan perjalanan saya dengan kendaraan dengan jalan raya mengikuti alur sungai. Sepertinya tidak ada hujan.

Perjalanan semakin jauh dan semakin masuk ke pelosok. Ternyata benar, di atas terjadi hujan, namun bukan dari langit tetapi dari eskavator. Mesin-mesin berat sedang mencabik-cabik permukaan tanah. Lapisan top soil/humus disingkap. Lapisan berwarna kuning terlihat lalu di aduk-aduk.
Pompa-pompa besar mengalirkan air sungai lalu dihamburkan dikolam-kolam untuk melarutkan batuan dalam sebuah kubangan kolam. Di ujung kolam, batuan yang larut kemudian diayak dan dicuci. Beberapa orang dengan wajang sebesar parabola tv kabel mendulang dari saripati hasil ayakan. Air sisa ayakan yang berwarna kuning pekat dibuang begitu saja dan lari menuju sungai.
Tambang Emas
Inilah awal sungai kuning itu berasal. Saya terhenyak. Ada tambang emas rupanya. Lahan hutan yang dikoyak, tanah subur disingkirkan, dan remah-remah lembut emas diburu di sela-sela batuan. Yang tidak terpakai dibuang begitu saja. Berpikirkah mereka akan apa yang terjadi, “bukan urusan kami” saat saya memberanikan diri bertanya.
Para cukong, saya menyebut demikian, menjadi pemodal. Akan memberikan fasilitas pertambangan dan para pendulang menjadi pekerjanya. Pendulang ini tidak dibayar, tetapi harus menjual emasnya kepada cukongnya. Bisni cukong tidak sampai di situ, mereka tidak ingin uangnya lari sia-sia. Maka dibukalah toko-toko sembako, dan pendulang membelanjakan hasil penjualan emasnya di sana.
Tidak salah di sekitar area pendulangan berdiri rumah-rumah mewah lengkap dengan kendaraan mewahnya. Pendulang bagaimana, “tetap miskin” kata salah satu dari pendulang. Inilah fenomena yang terjadi dibeberapa titik di Sumatera dan daerah lain, yakni penambang liar. Alasan himpitan ekonomi, lemahnya peraturan, dan adanya peluang dimanfaatkan dengan baik. Permasalahan lingkungan “bukan urusan kami“.

Rusaknya Kehidupan
Rusaknya ekosistem darat akan merambat ke ekosistem sungai yang berujung di laut. Mereka yang bersentuhan dengan kerusakan itu yang akan merasakan dampak langsung, bahkan mereka yang tidak sama sekali juga akan merasakan dampaknya. Ini adalah rantai kerusakan yang akan saling kait-mengkait yang beriringan dengan daur energi melalui rantai dan jejaring makanan.
Kerusakan lingkungan tidak hanya dalam arti fisik dan biologi saja. Ada bahan kimia pencemar berbahaya yang acapakali di sepelekan. Logam cair merkuri yang dibatasi peredaraanya dapat dengan mudah ditemukan. Dengan mudah juga dilepas ke lingkungan begitu tujuan sudah tercapai. Merkuri sebagai bahan pengikat emas menjadi modal utama dalam mencari logam mulia ini. Entah berapa banyak yang dipakai dan berapa banyak yang dibuang. Yang pasti ada potensi bahaya di sana. Ingat saja kasus minamata dan buyat yang gempar dengan cemaran merkurinya.

Saya hanya berguman. Apakah praktik-praktik ini akan terus berlanjut. Sampai kapan, entahlah. Siapa yang akan menanggung, entahlah. Bagaimana menegakkan aturan, entahlan. Siapakah jika aturan itu ditegakan berikut dengan dampak sosial ekonominya, entahlah. Yang pasti ada harga mahal yang harus dibayar untuk menyelamatkan kehidupan.
Atikel terkait Tentang TAMBANG
TELUK BUYAT DAHULU DAN SEKARANG
BAGAIMANA SEHARUSNYA TAMBANG TERHADAP LINGKUNGAN