
Saya teringat saat mengambil mata kuliah Taksonomi Tumbuhan, dimana dosen membawa mahasiswa praktikum di Kuburan. Deretan nisan-nisan tua, pohon-pohon besar dengan bermacam bentuk yang menyeramkan menjadi tanda tanya mengapa kami dibawa ke sini. “20 tahun yang lalu saya yang menanam beberapa pohon langka di kuburan ini, sekarang sudah tumbuh besar dan kalian bisa memelajarinya. Kuburan adalah tempat konservasi yang efektif di Masyarakat kita, karena tidak ada yang berani menggangunya” begitu dosen saya mengantarkan kuliah pagi itu di depan gerbang makam.
Konservasi
Masyarakat kita sebenarnya sudah sangat lama mengenal konservasi. Konservasi adalah usaha menjaga keberadaan suatu tempat atau spesies tertentu agar tetap ada, bisa hidup dengan baik dan berkembang biak serta tetap lestari ke depannya. Konservasi yang berbau unsur budaya menjadi salah satu cara bagaimana menjaga suatu tempat agar tidak diganggu.
Sasi, salah satu budaya konservasi yang ada di Papua dan Maluku. Sasi merupakan konservasi berbasis kearifan lokal untuk dengan hukum yang kuat dan ditaati oleh masyarakat. Masyarakat dibuat tunduk dengan aturan dan sangsi yang berat bagi siapa saja yang melanggarkanya. Ada yang mengatakan jika ada yang melanggar akan terkena kutukan, tulah, kualat, sial, hingga akan dikucilkan oleh masyarakat dengan sangsi sosialnya termasuk denda adat. Saat ini sasi masih sangat efektif.
Konservasi Mistis
Bagaimana konservasi yang ada di Jawa? Paling mudah adalah dengan memberikan bumbu mistis, meskipun kadang diyakini kebenarannya. Dosen biologi saya dahulu mencontohkan, tempat yang paling aman untuk menanam dan melindungi pohon langka adalah kuburan dan kompleks tentara atau polisi. Siapa yang berani mengganggu 3 tempat tersebut? Acapkali dosen saya menitipkan beberapa tanaman langka untuk ditanam di sana.
Situ Sangiang
Situ Sangiang yang ada di Majalengka adalah salah satu kawasan konservasi di bawah Taman Nasional Gunung Ciremai. Situs ini seluas 14 hektar berupa danau alam dan 105 hektar hutan terestrial. Di tempat ini, pengunjung masih bisa menemukan tumbuhan berusia ratusan tahun dan langka. Tempat ini benar-benar terjaga dengan baik kelestariannya, bahkan pengunjung akan berpikir 2 kali untuk memasukinnya.

Di area konservasi ada beberapa tempat yang dikeramatkan, salah satunya makam Sunan Parung. Untuk masuk ke makam tersebut harus terlebih dahulu ijin pada penjaga makam/kuncen dan harus dihantar. Di dekat makam terdapat pohon besar, sepertinya beringin (Ficus benjamina) yang berukuran besar. Di Pohon tersebut ada tulisan dilarang mengambil kulit Pohon. Sebuah peringatan, dimana kulit pohon sudah banyak yang berkurang kerena diambil pengunjung. Bayangkan jika kulit pohan banyak diambil, pohon raksasa tersebut bisa terbunuh pelan-pelan atau terserang penyakit.

Yang paling menarik di Situs Sangiang adalah keberadaan danau alam yang dihuni mungkin ratusan bahkan ribuan ikan air tawar dengan beragam spesies. Ikan-ikan di sini sepertinya sudah familiar dengan pengunjung. Pengunjung biasanya akan ditawari roti untuk pakan ikan oleh penjaja makanan. Dengan seringnya ikan di sana diberi makan oleh pengunjung, maka ikan menjadi jinak dan familiar dengan pengunjung.
Ikan Penghuni Situ Sangiang
Beragam jenis ikan ada disana seperti ikan emas, karper, dan lele. Ikan lele berukuran besar dan nampak jinak, tidak seperti ikan lele pada umumnya. Pengunjung sembari memberi makan ikan bisa menyentuh langsung ikan. Yang menarik lagi, pengunjung tidak ada satupun yang berani mengambil ikan bahkan menangkapnya. Banyak mitos yang berkembang dan menjadi pertimbangan pengunjung untuk memancing atau menangkap ikan di sini.

Konservasi berbasis kearifan lokal dengan membumbui dengan hal-hal yang sifatnya mistis masih sangat efektif menjaga keberadaan suatu tempat. Masyarakat kita yang masih memercayai hal-hal tersebut menjadi cara yang efektif, sebab ada hal yang ditakuti, dihormtai, bahkan menjadi sesuatu yang pamali atau pantangan. Konservasi berbasis budaya salah satu solusi menjaga suatu tempat agar tetap seperti sedia kala.