Dalam lamunan, saya teringat sebuah lagu yang dilantukan oleh musisi Iwan Fals. “Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu, dipaksa pecahkan karang, lemas jarimu terkepal” sebuah petikan lagu Sore di Tugu Pancoran. Sebuah lagu yang mengisahkan tentang perjuangan anak kecil yang menjajakan surat kabar untuk menyambung hidupnya yang rela kehilangan masa kecilnya. Apakah si Budi bahagia, saya tak yakin, tetapi di Timor saya melihat kebahagian anak-anak di sini yang sama-sama memecahkan karang kehidupan.
Medio Oktober saya berkesemapatan mengunjungi Pulau Timor di Provinsi Nusa Tenggara Timur tepatnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Menjelang malam, saya menginjakan kaki di sana setelah 2,5 jam penerbangan dari Jakarta – Kupang lalu jalan darat sekitar 3 jam. Menginap di sebuah Guest House hal pertama yang saya cari adalah kamar mandi, karena sudah menahan buang air dalam perjalan tadi. Krek.. krek.. krek saya membuka kran yang terasa agak keras. Putaran kran air sudah habis, tapi tak ada air yang keluar, sesaat kemudian hanya tetesan air saja. “Sumber air su jauh” saya menirukan plesetan tagline sebuah iklan air dalam kemasan. Alhasil sisa air di bak kamar mandi yang tak penuh yang saya pakai.
Dalam keseharian kita, kurang afdol jika mandi tanpa mendengarkan suara air yang mengucur deras dalam air. Ada rasa yang kurang jika kran air tidak mengalirkan airnya. Secara kejiwaan akan mempengaruhi tingkat kesegaran air jika tidak ada suara gemuruh air yang mengucur deras. Saat ini yang saya rasakan adalah keheningan sebuah kamar mandi. Acapkali yang terdengar adalah tetesan air yang membuat bulu kuduk berdiri di tengah malam.
Sifat manja saya langsung tertampar manakala keesokan harinya saya berjalan menuju kempung-kampung di Soe. Dengan sepeda motor trail saya melintasi jalanan tanah yang berdebu untuk melihat kampung-kampung tradisional di pulau Timor. Sapa ramah penduduknya membuat saya merasa benar-bener di terima. Senyum di bibir mereka yang berwarna merah merekah karena terpulas dari sirih pinang yang dikunyah. Keceriaan anak-anak menjelang senja tiba adalah sesuatu yang tak bisa saya lupakan, karena dari mereka ada perubahan akan paradigma selama ini.
Si Budi kecil dari timor tak mengangkat tumpukan surat kabar untuk dijajakan. Tangan-tangan mungil mereka memegang jerigen-jerigen kosong yang jika diisi dan ditimbang sepertinya 1/4 tubuh mereka beratnya. Tubuh dekil, rambut kusam, kurus, kulit hitam, namun penuh keceriaan itulah sosok yang bisa saya gambarkan untuk anak-anak Timor. Tangan kanan dan kiri memegang jerigen kosong, ada juga yang tangan kiri dan kanang memegang stang gerobang yang berisi belasan jerigen kosong.
Memang benar tagline “sumber air su dekat” namun ada yang menimpali “dekat di mata jauh di kaki“. Menjelang musim kemarau ini, warga kampung harus turun gunung untuk mengambil air. Bisa saja mereka berjalan puluhan meter, ratusan meter bahkan berkilo-kilo untuk mendapatkan air. Air sebagai kebutuhan hidup mereka kini menjadi barang yang langka karena musim kering yang panjang.
Tadi malam keluhan saya sepertinya tak beralasan, begitu melihat ada yang berjuang mati-matian untuk mendapatkan air. Yang membuat saya tertegun adalah anak-anak ini begitu gigih untuk memanen air yang cukup jauh dari rumahnya. Dengan kaki telanjang mereka berjalan sambil menenteng jerigen bahkan mendorong gerobak. “Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu, dipaksa pecahkan karang, lemas jarimu terkepal” itulah cara anak-anak timor mengisi waktunya karena hampir semua anak-anak melakukan demikian. Berbeda dengan Budi dari ibu kota, yang terlihat berbeda karena anak-anak seusianya menikmati waktunya sedangkan dia harus berjuang hidup. Di sini anak-anak bertahan hidup, bermain, menikmati masa kecilnya dengan cara yang kadang tak lazim untuk anak-anak yang tinggal di kota.
Setiap anak yang tinggal diberagam tempat akan memiliki kisah hidupnya masing-masing. Sangat naif jika membandingkan anak-anak timor ini dangan mereka yang tinggal di kota besar dengan zona nyamannya. Jangankan mengambil air di sungai, mengambil air untuk minum dari dapur saja menyuruh pembantu demikian mungkin kisah anak yang tinggal di kota. Dari ini saya belajar banyak tentang kehidupan, ternyata yang menurut kita sengsara adalah sisi bahagia mereka dalam menjalani kehidupan. Bukankah tokoh-tokoh terkenal di Republik ini dulunya anak-anak yang sengsara tetapi berbahagia menjalaninya.
Saya teringat sebuat nasehat “janganlah kiranya merampas hak anak untuk menghadapi masalah dan mencari solusinya, karena itu adalah proses belajar tentang kehidupan buat bekal mereka“. Dari pulau Timor saya belajar dari anak-anak mungil ini yang selalu bahagia, ceria, walau yang kadang kita rasa adalah sengsara. Alam sudah mendidik anak-anak ini dengan kerasnya kehidupan untuk bertahan hidup di alamnya yang keras, dan mereka bahagia, bagaimana dengan kita..?
Lihat foto terakhir wajah dan senyumnya polosnya mengingatkan akan dunia masa kecil saat bermain dan bermain yang seru dan indah. Semoga hari-harimu menyenagkan ya Nak!
amin….