Masih dalam ingatan kita, beberapa waktu yang lalu seorang tokoh nasional wafat. Pemerintahpun segera memerintahkan untuk mengibarkan bendera merah putih setengah tiang sebagai wujud bela sungkawa dan penghormatan. Instansi pemerintahan dengan serentak melakukan pengibaran bendera setengah tiang. Bagaimana dengan para warga, apakah melakukannya?. Mungkin ada yang melakukannya, mungkin juga ada yang tidak tahu atau acuh tak acuh.
Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan mengunjungi Lembah Baliem. Di Desa Kilise, distrik Kurima Kabupaten Yahokimo. Perjalanan tersebut ditempuh 40 menit dengan kendaraan roda empat dari Kota Wamena kemudian dilanjutkan berjalan kaki selama 3 jam dari Sogokmo. Jalan melewati punggungan lembah dengan ketinggan 1600-1800mdpl sungguh pemandangan yang eksotis. Langit biru yang begitu cepat berganti dengan awan hitam kelam adalah pemandangan yang biasa.
Sampailah saya di sebuah perkampungan kecil. Honai berkelompok kecil menyebar diantara punggungan bukit. Pukul 4 sore waktu setempat saya disana dan disambut oleh Kepala Suku, Bapak Asilong Hasegem. Di depan saya terdapat honai-honai yang dibuat khusus untuk para tamu, namun yang unik di tengah-tengahnya berkibar sang saka merah putih dengan gagahnya.
Bukan hal yang asing lagi bahwa di Papua banyak konflik, terutama dengan separatisme. Bukan itu yang ingin saya bicarakan, namun ketaatan warganya kepada aparat pemerintahan. Lupakan orde baru yang penuh tekanan dengan DOM-nya, saya kira kini sudah berbeda. Namun ketaatan itu yang patut menjadi contoh dan teladan di tempat lain yang memiliki zona nyaman dan aman.
Bendera yang warna merah mulai luntur dengan sisi terluar sudah tercabik-cabik oleh angin dan cuaca ini masih garang berkibar diganasnya lembah baliem. Setiap matahari terbit pak Albert sudah menaikan satu tiang penuh, dan menjelang matahari terbenam kembali menurunkannya. 7 hari dalam satu minggu bendera ini naik turun setiap pagi dan sore. Mereka bukanlah aparat pemerintah atau pegawai negeri, tetapi begitu taat menjalankan pesan dari pemerintah setempat.
- Meraka tidak tahu Indonesia Raya apalagi menyanyikannya. Jangankan mereka, orang tua mereka juga tidak tahu, tetapi mereka tahu bagimana mengibarkan merah putih dan taat pada pemerintah (dok.pri).
Saya lantas bertanya kepada 2 anak kecil yang bernaman Alex dan Agun yang bermarga Elopore. Ingus kering di bawah lobang hidung mereka adalah sebuah makna betapa mereka kurang mendapat perhatian tentang kesehatan. “Kalian bisa menyanyi lagu Indonesia Raya tidak..?” tanya saya dan keduanya pun menggelengkan kepala. Anak kelas 4 dan 6 SD tidak bisa menyanyikan lagu Kebangsaan, namun bukan mereka tidak bisa menyanyi sebab mereka lebih hafal lagu-lagu gereja.
Pertemuan saya selanjutnya adalah dengan Bapak Yudas Elopere sebagai perangkat desa dan guru sekaligus Gembala Gereja. Saat saya tanya, kenapa anak-anak tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya, dia menjawab “jangankan anak-anak, saya juga tidak tahu”. “Guru SD saja tidak tahu” tanya saya. “Saya guru karena hanya bisa membaca, menulis dan berhitung saja, sisanya saya tidak tahu” jawabnya sambil tertawa. Ahhirnya dia bercerita awalnya menjadi guru. Dia peduli dengan pendidikan, dan dia mengajarkan apa yang dia ketahui, itu saja selebihnya tidak ada. Pendidikan formalnya tidak ada, sebab dia bisa baca, tulis dan berhitung dari misionaris.
- Andaikata ini bangunan sekolah, pasti banyak peminatnya. Jauhnya lokasi di tengah-tengah lembah dan sulitnya medan adalah penghalangnya. Namun sayang bangunan ini sepi sekali (dok.pri).
Inilah potret pendidikan dan rasa nasionalisme. Sangat menarik sekali sekaligus memprihatinkan. Mungkin di daerah lain di Papua banyak yang sudah maju, tetapi tidak sedikit juga yang masih jauh ketinggalan. Memang benar dan nyata film Denias karya Sineas Ari Sihasale.
Berpindah saya ke Danau Sentani dekat Ibu kota provinsi Papua. Saya berkunjung ke beberapa pulau yang ada di tengah-tengah danau. Merah putih tetap berkibar di beberapa rumah, walaupun saat itu tidak ada perayaan hari besar nasional. Kata mereka, “ini perintah dari pemerintah”. Nah bagaimana dengan kita?. Munkin sudah terninabobokan dengan zona aman dan nyaman hingga lupa ditaruh dimana Sang Saka Merah putih dengan warna yang masih terang dan jahitan lengkap. Mungkin saat 17 agustus saja sang Dwi Warna itu berkibar, itu saja di kejar-kejar oleh bapak RT. Mungkin naiknya BBM menjadi tonggak merah putih itu berkibar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memperhatikan kesehatan, akses transportasi dan komunikasi. Mereka tidak mikir BLSM, yang mereka mau hanya… SLANK menyanyikannya…
Asal ada babi untuk di panggang
Asal banyak ubi untuk ku makan
Aku cukup senang
aku cukup senang
Dan akupun tenang
- Babi dan Ubi yang menyenangkan, mengeyangkan dan menenangkan (dok.pri).
Wah asyik juga sudah sampai Papua, Dhave. Ditunggu foto-fotonya juga ya . .
Segera Om… setelah urusan selesai.. saya aplot dah
Salam kenal Mas Chris
Sudah mulau muncul Om… foto-fotonya
ya christ…..masih belajar…hee…heee..
😀
you are very lucky… hiks kapan aku bisa kesini barang seminggu aja tinggal disini..
sangat bejo mas… hehehe 😀