Dialektika Bersama Bunda Maria

DSC00015.

Sore itu mengawali tahun 2013, saya bersama 2 teman entah mengapa punya pikiran spontan untuk pergi ke Goa Maria. Kebetulan didekat rumah saya ada sebuah Goa Maria yang berjarak sekitar 1Km. Maka sepakatlah kami berangkat ke Goa Maria Pereng Getasan dengan jalan kaki. Sebelum sampai di tempat tujuan, kami dihentikan salah satu anggota Polsek Getasan, kebetulan dia teman SMA saya. Ajakan untuk mampir ke kantornya saya tolak mentah-mentah “yang bener aja, masak dolan di pos Polisi, bisa salah sangka nantinya, lagian ngeri juga kan..?”.

Oh ya sebelumnya perkenalkan, kami bertiga semua Kristen Protestan. Kami adalah warga gereja GKJ (Greja Kristen Jawa) dan GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat). Tidak usah mikir dari mana gereja kami, tujuan kami hanya satu yakni Goa Maria. Akhirnya sampai juga di pintu gerbang dan di sambut dengan diorama prosesi jalan salib pertama.

Singkatnya, kami langsung menuju altar tempat berdoa persis didepan patung Bunda Maria. Kondisi gerimis yang memaksa kami tidak menyelesaikan prosesi jalan salib, sehingga langsung duduk manis di altar yang ada atapnya.

Di sana tiba-tiba saya gusar dan niat hati yang semula tenang jadi bergejolak saat melihat sebuah fakta. ada tulisan [Demi Ketenangan HP Dimatikan]. Saya mencoba mengikuti aturan tersebut, walau tidak pas dengan yang dimaksud. Ponsel saya kasih tanda nada di silang atau silent mode. Namun yang di depan saya, berbalik semua. Mungkin mereka buta huruf, atau sengaja menutup mata.

Para pengunjung, asyik berpose di depan Goa Patung Bunda Maria. Memang tempat sangat artistik dan cocok buat berfoto ria. Sepertinya usaha mereka untuk membuat barang bukti (i was there) dengan ponsel pintar lalu di unggah di dunia maya dan situs jejaring sosial dan ditandai ke orang-orang yang bersangkutan. Niat mata ini konsentrasi buyar sudah, akhirnya saya mencoba berdamai dengan hati dan pikiran dengan [demi ketenangan amarah dimatikan].

Awalnya kami bengong, karena tidak tahu harus bagaimana. Akhirnya saya melirik ke sebelah, ada sepasang kekasih yang duduk berdekatan. Mereka berdua melipat tangan, sebelumnya membuat tanda salib sebagai awal untuk berdoa. Kami akhirnya duduk bersila, dan berdoa sebisa kami dan curhat apa saja kepada Sang Pencipta.

15 menit lebih kami berdoa, cukup lama bukan..?. Bukan itu yang kami cari. Kira-kira usai berdoa dan buka mata, diluar masih hujan dan kembali kami menutup mata lanjut curhat. Akhirnya sesi curhat pada Tuhan usai juga dan hujan makin deras saja. Curhat akhirnya turun ke dunia, kami bertiga ngobrol pelan sambil menunggu hujan reda.

Ditengah-tengan obrolan kami, tiba-tiba ada salah satu yang teriak “kebakaraaaan” sambil menujuk Goa Maria. Spontan semua mata mengarah kesana dan hanya melihat saja. Entah mengapa saya spontan langsung dengan telanjang kaki menerobos hujan naik menuju Goa. Saat saya sampai disana, api sudah membesar dan ruangan panas.

Ternyata bunga-bunga hias dari plastik tersambar oleh nyala lilin. beberapa bunga sudah jatuh kedalam lelehan lilin cari sehingga api semakin membesar. Tanpa mikir panjang langsung saya ambil satu karangan bungan beserta jambangannya dan melemparkannya keluar. Bunga plastik yang saya lempar sudah mirip bola api dan terbang bebas ke udara.

Menarik juga mungkin jika diabadikan ada bola api keluar dari dalam Goa. Lantas satu teman saya menyusul saya dan ikut memadamkan api yang masih menyala di dalam goa. Di depan goa ada sebuah air yang sengaja di tampung. Entah itu air apa, kata teman saya itu air suci. Tidak terbayangkan bukan? air suci di gunakan untuk menyiram kobaran api. Disela-sela menyiram kobaran api yang mungkin dengan air suci tersebut saya masih sempat mikir 4 kali.

Awalnya api-api ingin saya injak-injak biar cepat padam, itu pikiran pertama. Pikiran kedua, saya telanjang kaki, bisa celaka buka karena menginjak lilin yang mencair dan plastik yang lumer kebakar. Nah pikiran ketiga, pasti andai kaki ini jadi menginjak dan panas maka kaki saya celupkan di air suci. Andai itu terjadi apa kata pengunjung yang dibawah dan sedang berdoa, itu pikiran ke empat saya. Akhirnya dengan tangan saya mengambil air dan mengguyurkan ke api yang membakar.

Akhirnya api padam juga dan saya kembali ke pelataran. Suasana yang tadi histeris sudah aman terkendali dan kembali pengunjung berdoa. Didepan patung Bunda Maria saya duduk termenung sambil berdialektika denganNya. “Bunda Maria, ini kedatangan kami yang pertama dan entah mengapa kejadian ini terjadi. Kami kesini hanya ingin ingin tahu, berdoa dan entah mengapa kami mendapat kejadian yang mengesankan luar biasa ini. Mungkin bagi kami konyol, tapi bagi pengunjung lain adalah sebuah pertanda.”

“Bunga yang harum, indah, cantik tiba-tiba tersambar api dan menyala dan hampir saja membakar Engkau. Saya tidak membayangkan, andaikata yang meletakan bunga ini tahu kejadian ini apa perasaan dia melihat bunganya terbakar dihadapanmu. Apa juga kata mereka yang dibawah sana yang sedang melantunkan doa tiba-tiba keluar lidah-lidah api dari mulut goa dan melihat engkau seperti hendak terbakar”.

“saya juga tak sanggup membayangkan jika ada pengunjung yang melihat kejadian ini hanya sepotong dan satu adegan saja. Bisa menjadi judul dan berita panas atau head lines 2 Warga Gereja GKJ dan GPIB membakar Patung Bunda Maria. Bisa saja itu terjadi dan menimbulkan perpecahan umat Tuhan. Akhirnya kami benar-benar mampir di Polsek bukan lagi main tetapi menghuni sel tahanannya dan yang tadinya teman SMA kini menjadi aparat yang sadis mengintrogasi kami dibawah sinar lampu di ruangan yang gelap. Bunda, mungkin ini hanya pikiran dan imajinasi saya saja dan pengalaman ini luar biasa.”

13571235391415207541
Sisa-sisa bunga yang saya lemparkan dari dalam Goa Maria, semoga tidak pada salah tafsir.

Permenungan saya berhenti saat hujan mulai reda. Disaat 2 teman saya mengajak pulang saya mendekati patung Bunda Maria. Dengan senyum Bunda Maria seolah ingin berkata “pulanglah nak, Bunda baik-baik saja dan saya paham apa yang kamu lakukan dan pikirkan”. Dialektika akhirnya harus berhenti saat langit mulai gelap dan saya membalas senyum Bunda Maria sambil berjalan pelan menyusul 2 teman didepan.

4 thoughts on “Dialektika Bersama Bunda Maria

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s