Suatu hari mendapat undangan untuk hadir dipresentasi biologi siswa-siswi OSN ”Olimpiade Sains Nasional”. Dalam ruangan presentasi sudah hadir beberapa dosen, mahasiswa S1 dan S2 serta peserta OSN Biologi. Dalam presentasi seorang siswa SMA yang mendapat jatah tentang saraf dan sistem imun, sungguh luar biasa dalam penyampaian materi. Pengantar menggunakan bahasa Inggris yang fasih, begitu juga dengan slide demi slide yang ditampilkan. Pelafalan, ucapan yang cepat dan artikulasi yang jelas menandakan benar-benar menguasai materi.
Dalam hati, sempat minder juga dengan anak SMA yang begitu menguasai materi. Begitu detail dan seolah tak ada sejengkalpun yang terlewati. Selesai presentasi, kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Bodoh juga jika bertanya tentang topik yang disampaikan atau sekedar menguji mereka, pasti sudah disikat habis dengan jawaban singkat, dan jelas. Akhirnya, muncul ide pertanyaan dengan mengaitkan dengan kehidupan sesehari yang biasa kita temukan. Sebuah pertanyaan ”bagaimana mekanisme saraf dalam menanggapi hipnotis Tommy Rafael atau Uya Kuya, dan bagaimana mekanisme cuci otak dalam perekrutan anggota terorisme”. Sejak berpikir sepertinya tidak ketemu jawaban seperti apa yang ada di buku teks yang selama ini menjadi primbon mereka. Akhirnya kembali ke floor dan terjadi diskusi yang menarik.
Sebuah kesimpulan muncul disaat selesai sesi tanya jawab. Mereka memang dididik menjadi generasi yang pintar didalam bidangnya. Buku terbitan luar negeri, sudah menjadi santapan sehari-hari dan begitu mudahnya untuk dihafal dan dipahami. Merinding juga disaat mereka berubah menjadi robot yang begitu lihai dalam memindahkan ilmu dalam memori mereka lalu mengeluarkan nyaris tak jauh beda dengan apa yang mereka pelajari. Namun ada suatu kelemahan disaat mereka yang setiap hari dijejali dengan hafalan, konsep tanpa ada sedikitpun kreatifitas. Yang ada hanyalah ilmu yang kaku dan saat menghadapi masalah seperti kurang luwes dalam pemecahannya.
Menarik benang merah antara ilmu pengetahuan dan permasalahan, sehingga ada solusi yang diterima masyarakat. Disitulah hakekat ilmu yang sesungguhnya, disaat masyarakat mau menerima solusi-solusi yang ditawarkan yang berdasar pada ilmu pengetahuan. Disisi lain, sangat salut dengan generasi cerdas yang diciptakan sejak dini, mungkin saat ini mereka belum menjadi mak comblang yang dengan mudahnya menjodoh-jodohkan ilmu pengetahuan dengan permasalahan untuk diterima masa.
Disela-sela obrolan iseng bertanya-tanya bagaiama kegiatan selama di Karantina selama 1 bulan untuk OSN. Setiap hari hanyalah belajar-belajar dan yang lebih menakutkan, belajar hingga jam 11 malam. Beban yang luar biasa untuk mereka, dan wajah-wajah muda mereka sesaat harus terbelenggu dengan target sistem pendidikan yang mengharuskan menjadi pemenang dalam kompetisi ilmu pengetahuan. Kompetisi, menang dapat penghargaan, apakah sebatas itu? padahal tidak kalah penting menjadikan mereka mak comblang untuk mengatasi permasalahan bangsa ini. Sentuhan ilmu, kreatifitas, nasionalisme dan etika sepertinya harus menjadi makanan sesehari untuk menciptakan mak comblang-mak comblang yang cerdas dan berdedikasi untuk negara dan agama. Salut buat generasi muda dan sukses buat kalian…
salam
DhaVe
lab, 190811,10.00
hemm,nuwun sharinge Mas…realita ajaran leluhur kita terhambar dicerita sampean, “ngelmu iku kalakone kanthi laku…”
Ini yg dikelola depdiknas apa yohanes surya, mas? Soale mereka kan gak se-visi dlm urusan olimpiade2 ginian..
Aniez, mang Y. Surya ngurusi biologi juga, bukannya setahuku dia konsen di olimpiade fisika..?*jadi keinget buku mestakung ik*
Ya gak hanya fisika..biologi, kimia, matematika, astronomi..cem macem.
Ikut menyimak tulisan mas Dhave*Terimakasih sharingnya ya mas. Sebuah masukan bagi saya yg bukan orang sains.Cukup menarik adanya gemblengan karantina dan latihan khusus bagi peserta OSN, Indonesia dan bbrp negara Asia lainnya. Latihan keras jelas sangat membantu kemenangan. Apalagi dgn membiasakan diri menghadapi pola2 ujian lomba. Saya jadi membayangkan seperti jaman2 latihan untuk UMPTN dulu ( tapi yg jelas ini lebih complicated, ya?). Apakah para peserta OSN dari negara2 lain juga mengalami karantina dan pelatihan sekeras itu?Kadang saya mengira-ira bahwa banyak pemenang2 itu unggul karena faktor persiapannya yg beda. Namun ketika harus sama sama berhadapan dengan kadar persiapan yang setara, maka lain lagi hasilnya. Apakah yg demikian inilah yg kemudian nampak dalam kiprah mereka di dalam dunia sains?Imho, attitude mereka terhadap sains sangat mempengaruhi apakah mereka kemudian akan menjadi scientist sejati. Saya ikut berdoa, semoga saja para peserta OSN dari Indonesia digembleng untuk punya attitude ilmuwan periset yg handal bukan sekedar mencapai target target gelar kejuaraan melainkan juga produktivitas hasil penelitian. Edited: tambahan beberapa kata di sana sini dan perbaikan typo.
jadi pinter belum tentu otomatis jadi smart 🙂
Lebih baik, di mana pun kita menganyam pendidikan, pendidik dan dididik harus siap menjalani prosesnya.
Merdekalah nak!
Kalo mBak Less berdoa, aku tak berharap wae yaa…sapa reti satu saat nanti Uda Andre bisa jadi komendan untuk mengaplikasikan hal tersebut. serius iki lho mBakkk.. 🙂
Postingan yang menarik..Terimakasih sharingnya mas 🙂
sami-sami Om Trie..kembalii pada sebuah proses, sebab tak ada yang instant..
DIKNAS Om… kalo YOh Surya… mantab pisan euy.. diknas hanya berburu emas layaknya penambang… setelah itu ya sudah 😀
YS konsentrasi di Fisika Om..karena kepakarannya disana…
betoool sekali
Makasih masukannya… kebetulan saya ketik di ponsel, jadi acakkadut..lain kali akan saya perhatikan lagi.yah..saya kira seperti cabang olah raga…dapat emas..perak,,perunggu abis itu selesai. Konsekwensi olahraga adalah sehat, sains adalah cerdah. Bagaimanan menyehatkan sains itu yang menjadi PR setelah pulang dengan segudang prestasi atau kegagalan. Semoga Diknas ndak hanya punya target prestasi, tetapi karakter yang mampu membangun bangsa dan dunia agar menjadi lebih baik lewat sains. Untuk negara lain, mungkin tak jauh beda, karena kita kadang ya mengadopsi mereka hehehe :Dmakasih dan salam
nah itu yang membahayakan…pinter jadi minteri hehehe :p
semua kembali pada proses Sist…. masak kaya mie instant, bisa jadi anak bangsa yang mudah kena tipes itu hehe 😀
semoga dan secapatnya Dabs…
aku meng amiiiiniiiii sajah
Kembali kasih SIst….. semoga bermanfaat
wah mas nek ketemu orangnya bisa dikumbah lho, masa penyuka cabe ini dipanggil om :))))))
Modyar akuuuuh hahahhaha 😦
Saya sempet mikir beberapa menit..kok mas Dhave nulis ini..O.ooohhh mungkin karena keterangan di komen saya “Edited” ya?Padahal maksudnya itu saya memberi keterangan saja, bahwa komen saya sempat saya edit karena ada typo dan nambah kata..maaf saya sudah mbingungi yah Mas..jadi malah bukan tulisan mas Dhave yg acakadut….hwaaa….tulisan mas Dhave top bgt ..apalagi ngetiknya dari ponsel….salut..
Ndherek ng-amini jugaa….
anak2 sekarang emang cerdas2kadang yang lebih senior jadi minder sendiri atau mencoba mengalihkan topik karena ga bisa jawab pertanyaan atau buntu dalam perdepatan*acung jempol*
owalah…salah paham kie critane..oke gpp…iyah lewat hengpong nie….
amin aminnn.kaya slametan malahan
haha…pernah kena getahnya sepertinya
wwkwkwkkwwk…dasar tukang komporrr…njaluk dikumbah pooo
pantess..makanyaa itu beda banget kok..kalo di tempat Yoh Surya, malah pada dibikin sante, nyante banget, tapi hasilnya ciamik..pas dikarantina, pada bawa komik, ngegames..anaknya juga gak keliatan setress..
di ulek wae mba,,,,
hahaha….DIknas kan kejar setoran… asal bapak senang lah….