Nasionalisme Seremonial

66 tahun yang lalu proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan oleh dwi tunggal Soekarno-Hatta. Makna nasionalisme begitu nyata setiap tahunnya dan berpuncak ditanggal 17 agustus. Apakah aprsesiasi nasionalisme hanya disaat peringatan kemerdekaan RI, mungkin iya bagi mereka yang hanya menganut nasionalisme seremonial. Nasionalisme tak ubahnya hanya sebuah tradisi disaat menjelang peringatan detik-detik proklamasi, setelah itu luntur hingga setahun kedepan. Cukupkah nasionalisme seremonial itu bagi Ibu Pertiwi? apakah hanya lewat apresiasi menjelang 17-an untuk menumbuh kembangkan nasionalisme dan rasa cinta tanah air.

Lupakan sesaat disaat 17an dimana dominasi warna merah dan putih, namun tengoklah disaat 11 pasukan Garuda beraksi di senayan. Dominasi sang Dwi Warna menutup setiap jengkal tribun penonton yang mengelilingi lapangan hijau. Gema Garuda di Dadaku menambah aura nasionalisme, bahwa ini Indonesia. Tidak hanya nasionalisme 2×45 menit, tetapi jauh-jauh sebelumnya. Berapa banyak yang antre dan mendirikan tenda di pelataran Gelora Bung Karno. Lewat Olahraga, sebuah cara untuk menumbuhkembangkan nasionalisme.

Disaat angkat senjata menjadi tugas prajurit negara, tetapi olahraga bisa lebih dari angkatan bersenjata. Tetesan keringat di lapangan mungkin tak sebanding dengan kucuran darah, ayunan raket tak ada apa-apanya dengan sabetan bambu runcing sang Pahlawan, namun itu semua menjadi bukti Cinta Negeri. Pekik kemenangan dari beratnya pertandingan seolah menggema gelora teriakan merdeka dari patriot bangsa. Kibaran sang saka merah putih ditribun kemenangan layaknya arek-arek Surabaya menyobek bendera Belanda di Hotel Yamato. Olahraga penyatu bangsa untuk anak negeri.

Disaat Ibu Pertiwi menangis, dimana tanah air menganga oleh bencana, benih-benih nasionalisme bak jamur dimusin penghujan. Tsunami, gempa bumi, gunung meletus, berjuta anak bangsa bahu-membahu turun kelapangan. Andai tak ada rasa nasionalisme berdasar kemanusian, tak mungkin ada sentuhan untuk korban bencana alam. Bencana mempertemukan dan menyatukan anak negeri untuk duka ibu pertiwi.

Olah raga dan bencana menjadi titik tumbuh nasionalisme tanpa ada seromoni, namun begitu nyata. 17 agustus menjadi puncak dari rasa nasionalisme disaat proklamasi di bacakan, dan kini rasa itu kembali mencuat disaat menginjak tahun ke-66. Anak negeri punya cara sendiri dalam mengapresiasi makna proklamasi, mereka yang berbakat olah raga harumkan negeri lewat prestasi, mereka yang punya jiwa sosial tak ubahnya dengan tentara bertaruh nyawa di medan laga, dan masih banyak lagi talenta-talenta anak negeri untuk mengharumkan ibu pertiwi. Nasionalisme seremonial baiklah selesai setelah penurunan bendera nanti sore, setelah itu rasa itu tetap ada dan diwujudnyatakan. Merdeka dan cintaku untuk negriku Indonesia.

salam

DhaVe
kk,170811,10.00

6 thoughts on “Nasionalisme Seremonial

  1. dhave29 said: Tsunami, gempa bumi, gunung meletus, berjuta anak bangsa bahu-membahu turun kelapangan. Andai tak ada rasa nasionalisme berdasar kemanusian, tak mungkin ada sentuhan untuk korban bencana alam

    Semoga ini bukan pertanda bahwa Allah murka sama kita!

  2. dhave29 said: Tsunami, gempa bumi, gunung meletus, berjuta anak bangsa bahu-membahu turun kelapangan. Andai tak ada rasa nasionalisme berdasar kemanusian, tak mungkin ada sentuhan untuk korban bencana alam

    Dan upacara yang khimad adalah upacara dengan lagu kebangsaan, bukan dengan lagu SBY.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s