Kawan Kita Memang Bajingan

Kalo boleh hari ini saya mengutuk diri sendiri, karena luapan kemarahan yang meledak-ledak, namun hanya tertahan dihati. Bukan kemarahan yang besar yang layak dibesar-besarkan, namun sebuah sentilan hati nurani yang bener-bener bikin geregetan. Nilai sebuah kepercayaan yang disia-siakan dan dilewatkan begitu saja tanpa terpikir akibatnya dikemudian hari. Harapan dan kenyataan yang jauh dari ujung-ujung jurang pemisah, semakin dalam tak kalan perbuatan diulang dan diulang.

Seorang sahabat yang entah mengapa saya bisa bergaul dengan orang model itu. Mungkin banyak orang menyesal bergaul dengannya, namun saya hanya bisa mensyukuri mendapat banyak pelajaran darinya dan sepertinya saya ikut tertampar setiap kali melihat perbuatannya. Bagi beberapa sisi mungkin wajar melihat kehidupan anak muda, namun sisi lain melihat fenomena kehidupan anak muda laykanya panggung sandiwara yang penuh kekurang ajaran.

Hidup sendiri jauh dari orang tua dan dari keluarga yang berada mungkin sebuah anugerah bagi ABG yang menginginkan kebebasan. Dengan dalih mencari jatidiri dan ilmu, maka pergilah keluar kota untuk studi dan belajar hidup. Hidup dalam kamar kost yang standar menengah keatas disertai fasilitas yang cukup lengkap menjadikan hidupnya belum puas. Beberapa proposal permintaan dilayangkan kepada orang tua yang jauh disana untuk mengirimkan sejumlah dana guna kelangsungan studi.

Kamar yang nyaman, dan cukup luas disertai fasilitas yang bagus sepertinya sangat nyaman untuk belajar. Sore itu ketika kaki melangkah untuk menyambangi kamarnya, tiba-tiba berhenti sebelum pintu terketuk. Sepasang sandal laki-laki dan perempuan sedikit berantakan diatas kain perca bertuliskan ”welcome”. Suara alunan musik pemecah konsentrasi mengalun dengan suasana lampu tidur yang remang-remang. Hari menjelang senja dengan hawa dingin disaat hujan, membuat pikiran carut marut membayangkan apa yang terjadi didalam sana.

Enggan sepertinya mengusik mereka yang sedang menikmati sore dikamar, dan lebih baik menunggu beranda hingga waktunya tiba. Sepertinya rasa sabar sudah habis dan memutuskan untuk meninggalkan mereka dan kembali keesokan harinya. Pagi-pagi benar kembali bertandang demi meminjam sebuah buku teks, namun kedua pasang sandal masih ditempatnya dengan posisi yang sedikit rapi. Saat hendak membalikan badan untuk menghilang sapa lembut seoarng gadis dengan wajah kucel menyambar telinga. Alasan semalam hujan dan tidak bisa pulang seolah membenarkan apa yang ada dipikiran.

Kisah berakhir disebuah tempat makan dengan fasilitas wifi dan kami bertiga sejenak mendinginkan pikiran setelah lelah diruang kelas. Sebuah notebook dikeluarkan dari tas jinjingnya, entah setan apa yang membuatnya mengeluarkan mesin pintar, sebab biasanya hanya jadi penghias kamar dan pelengkap layaknya anak kampus. Setelah tombol power digeser dan tangan utak-atik dipapan sentuh, lalu sebuah folder ”hidden” dibuka. Barisan files ”tumbnails” berdert rapi sesui alfabet dengan cuplikan isi files. Teh hangat seolah mengalir sebeku es kutub saat ada celotehan kami semalaman menikmati itu disambut dengan canda tawa. Film-film porno yang biasanya menjadi konsumsi pribadi kini dipublikasikan beserta hasil praktiknya.

Lemas kaki ini dan enggan untuk melangkah disaat teringat bermain dirumahnya untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Disana rasa bangga orang tua kepada anaknya selalu didengungkan setiap kali ada obrolan. Dari juara kasti tingkat SD sampai dengan jadi Kontingen tukang ngerek bendera dikecamatan. Rasa bangga disaat melihat seorang ayah dan anak melantunkan doa dan pujian kepada sang khalik. Seorang ibu sepertinya menyembunyikan senyum bangga untuk sang anak tercinta.

Tak terperikan jika semua ini terbongkar dan khlayak ramai tahu. Uang kuliah di mark up dengan membuat stempel palsu bank bersangkutan. Transkrip Nilai dimanupulasi sedemikian serupa agar terlihat pantas dipandang. Tutur kata halus disaat layar ponsel bertulisan nama ”ayah” berdenging. Cium tangan dan peluk mesra kepada ibu saat meminta restu. Sungguh ironis kawanku, apakah salahku hingga engkau seperti itu. Aku yang jauh dari apa yang kau punya, merasa eman dan sayang terhadap apa yang semua engkau lakukan kawan.

Kakiku masih kuat berjalan disaat harus mengalah berboncengan dengan kekasihmu. Tanganku masih kuat untuk menulis dan menyalin buku teksmu. Mataku masih terlalu tajam untuk melihat semua kelakuanmu. Emosiku masih terkendali disaat aku harus bersandiwara dihadapan orang tuamu. Namun kawan… hatiku tak terima, jiwaku berontak setiap kamu memasuki lobang-lobang yang menyesatkanmu. Kegundahan ini semakin menjadi disaat engkau selalu mengkhianati arti dari kepercayaan. Kawanku aku tidak ingin melepasmu untuk semakin jauh tenggelam, ini tanganku peganglah erat. Aku tidak silau kebangaanmu, tapi mataku menangis disaat engkau menistakan semuanya. Kini aku tak mampu lagi, dan harus mengatakan apa yang sebenarnya ”Kawan Engkau Bajingan”.

Aku sadar tidak lebih baik dari engkau kawan. Beasiswa pernah kuselundupkan demi bisa mendaki gunung, dengan alasan subsidi silang. Anggaran kampus pernah kumainkan agar teman-teman senasib tidak kelaparan. Tanda tangan pimpinan pernah kupalsukan demi kelancaran kegiatan. Ratusan judul jurnal ilmiah pernah kubajak demi bisa dapat refrensi yang berbayar. Okelah kawan, ayo sama-sama keluar dari lumpur kenistaan dan menjadi ”mantan bajingan”.

Salam

DhaVe
Bus Reyot, 18 Oktober 2010, 14:15