Dalam sebuah ekosistem biosfer dikenal adanya homeostatis atau sebuah keseimbangan, dimana apabila terdapat ketimpangan maka lambat atau cepat akan terjadi kesetimbangan sesuai hukum alam. Kehidupan manusia juga begitu, dibutuhkan keseimbangan agar semua bisa berjalan dengan baik. Dalam lingkungan sosial juga dibutuhkan sebuah keseimbangan agar terjalin simbiosis yang baik. Pendidikan mengambil peran penting dalam proses perkembangan pola-pola dan tatanan sosial dalam masyarakat.
Beberapa fenomena muncul seperti; makin merosotnya jiwa humanis terhadap sesama, hubungan sosial yang rusak karena kesibukan, berkurangnya rasa peduli, anak-anak seperti autis dan lain sebagainya. Diperumahan tempat saya tinggal bahkan lebih aneh lagi, dimana beberapa wargannya lebih senang membayar denda daripada ikut kumpulan RT atau mewakilkan ronda dengan membayar sejumlah uang kepada orang lain. Mungkin juga mengerti kabar duka tetangganya yang meninggal dunia dari berita duka disurat kabar. Sedikit miris juga melihat kelakuan-kelakuan manusia yang semakin terkikis rasa sosailnya.
Suatu saat diskusi dengan teman yang berprofesi sebagai guru SD untuk mengobrol bagaimana dia mengajari anak didiknya berkaitan dengan masalah sosial tersebut. Dia dengan trik-triknya ternyata mampu memberi pelajaran moral dalam kehidupan sesehari kepada murid-muridnya. Sebuah kata-kata yang masih saya ingat ” membuat anak pinter dan menguasai semua cabang ilmu itu gampang, tetapi membuat anak itu bener (berakhlak, bermoral, budipekerti) itu sangat susah”.
Dia sebelum memberi pelajaran yang diampunya selalu mengawali dengan dongen-dongengnya. Kebetulan Pak Guru tersebut punya hoby mendaki gunung, panjat tebing dan kegiatan alam bebas lainnya. Cerita-cerita pengantar pelajaran selalu berkaitan dengan kisah-kisah pendakian yang penuh ikatan emosi, egoisme, sosial dan pelajaran moral yang berharga. Cerita dengan bumbu slide foto-foto pendakian dan sejumlah petualangannya dimasa mudannya dulu. Murid-murid yang melihat dan mendengar kisah tersebut ternyata bisa menggugah ”inilah manusia”.
Menjadi pertanyaan bagi saya ”mengapa cerita alam bebas saja yang disampaikan? bagaimana dengan cerita-cerita yang lain”. Raut wajah Pak Guru tiba-tiba berubah menandakan sedikit kemarahan, sambil berkata ”kenapa cuma cerita pendakian? karena saya benar-benar mengalami manis pahitnya perjalanan dan ini kisah nyata yang tidak saya karang, atau bualan-bualan manis ala kyai, pendeta, guru agama yang hanya menyuplik dari kisah orang lain”. “ini cerita jujur apa adanya yang saya, dengan foto-foto jadul bisa saya, saya tidak mau membohongi murid-murid saya dengan cerita manis tanpa bisa saya buktikan”. Demikian alasan Pak Guru mengapa dia menceritakan hobinya menjelang pra pelajaran.
Nah dibalik cerita pengantar belajar tersebut, maka setiap 1 bulan sekali diadakan kemping bersama ala pendaki gunung. Peralatan panjat tebingnya dikeluarkan semua untuk membuat rangkaian tali temali out bond. Kegiatan menyusuri hutan, sungai menjadi agenda wajib dalam setiap kegiatannya. Waktu berlalu, dan saat lebaran saya iseng main dirumah pak Guru tersebut. Sedang asik-asiknya mengobrol, sebuah ketukan tak beraturan dari pintu rumahnya. ”Nah itu hasil didikanku dengan cerita naik gunung”, saya hanya terdiam tidak tahu apa yang dimaksudkan Dia. Begitu pintu dibuka, puluhan murid-murid SD berebut untuk bersalaman dengan gurunya. Sebuah fenomena yang langka terjadi dimana murid-murid dari seluruh pelosok kampung datang bersilaturahmi.
Sebuah senyuman dan bisikan ”tak ada yang tak hadir”, rasa haru dan bangga mengalir deras dalam diri saya. Sebuah pelajaran moral begitu nyata dan terbukti, dari sebuah cara yang sederhana lewat sebuah cerita bisa memberikan keseimbangan dalan jiwa dan pikiran murid-muridnya. Sebuah pengalaman dan pelajaran berharga.
Bagaimana dengan anak-anak sekarang?
“membuat murid pinter itu mudah, tetapi tidak mudah membuat bener”.
Terimakasih; Suryo Sigit S.Pd
Salam
DhaVe
Merak 1-10, RSUP Kariadi, 18 Februari 2010, 08:00
Nah, ini yang sepenuh hati saya dukung! Sangat mendukung. Back to nature.
bener….memerlukan kecerdasaran emosional dan kecerdasaran spiritual, karenanya untuk menjadi bener tentu butuh waktu untuk belajar dari pengalamam hidup dan harus selalu diasah….
jujur saja, saya juga sedang berusaha kuat memperbaiki sisi humanitas saya yang terkena erosi perkotaan selama ini.
Sharing yang bagus Dhave,..Terutama di kota besar, dan sekarang juga di beberapa kampung sudah mulai – bahwa anak2 jaman sekarang kehilangan tata krama, humanitas – bahkan cenderung masa bodo.Akeh bocah ora bener,..soale wong tuwone yo ora bener… Nah piye jal…?
bener banget.. tantangan untuk para pendidik..tapi juga orang tua.
menurut saya anak anak itu sangat sangat membutuhkan keteladanan untuk menjaga keseimbangan hubungan, baik hubungan horizontal sesama manusia dan hubungan vertikal dengan Tuhannya. ini merupakan tanggung jawab penuh keluarga. sedangkan pendidikan yang formal kita serahkan ke sekolah karena di sekolah tempatnya orang orang yang tahu bidangnya secara formal. ini hanya pendapat saya dan terimakasih share nya yang menambah wawasan saya
dalam setiap kehidupan memang diperlukan keseimbangan. Nice sharingnya om Dhave 🙂
bener sekali bro!! Memang lebih susah untuk mendidik moral di jaman sekarang. Sebuah renungan dan contoh yg bagus, thanks fro sharing. Aku dan suami kemarin berdiskusi mengenai hal mendidik anak. Kalo kita punya anak suatu hari nanti yg paling penting adalah karakter dasarnya (menjalankan firman Tuhan, jujur, penyayang sesama dll) harus kuat, untuk akademik bisa nomor 2.
tfs gan
bukan cuman anak anak thok yang sulit dibuat bener…orang dewasa malah ada yang makin tua makin ngawur….hehehhee..TFS, Mas Dhanang..baik sekali untuk renungan…
Nilai2 moral , jiwa humanis , kepedulian , memang bukan hal2 yg bisa diajarkan dengan sekedar kata2. Semoga semakin banyak guru yg seperti mas Dhave ceritakan.
yupsetuju:)yang pinter belum tentu jadi beneryang bener pun, kadang tak pinter
makasih Sist…. Velline…
ya Om… sebuah proses yang tidak mudah…makasih..makasih,,,,,
semangat Om… perlu saya daptarkan sekolah di tempat Pak Guru itu?ada dongeng dan slide foto loh?akhir pekan kemping dan hunting….
nah sebuah realita yang bikin miris kan Mbak,,,,,unt7ung aku di Desa hehehhe…..kenapa kota besar yah?
ayoh para orang tua bagaimana?
oke… makasih Om Sigit buat tambahannya,,,,,analisa yang bagus..salam
yaps..homeostatis….kembali kasih mBak Laras…salam
plok..plok..plok….saya dukung dan setuju sekali mBak,,,,,berawal dari sebuah keluarga bukan?salam
kembali kasih Bradher…..
oke mBak DyaN..buat orang tua yang merasa dirinya sudah eDyaN aku,,,,, mari kita perbaiki diri yah,,, contoh anak-anak,,,,kembali kasih,,,,salam mBak DyaN…..
yaps…ingin jadi guru rasanya,,,,,kok belom layak yah…..
nah Loh…itu yang bener kan,,,,makasih mBak….salam…
Tapi…kadang2 tanpa sadar kita lah orang2 yang disebut2 mas Dhave diatas 🙂
bener mBak….nTuh ada yang mengaku…. pada dasranya homo homini lupus di arahkan ke homo homini socius hehehe :Dada yang mau ngaku hiihihiihihihihihiii…. 😀
Tapi jangan salah,…di desa juga dah banyak anak yang sok kota… trus slonong boy,.. hehe… tapi memang gak semua seperti ini.Semoga ada pak dan bu Guru lain yang semakin banyak seperti contoh di atas agar teladan hidup benar itu bisa diwariskan ke generasi berikutnya..Salam pagi Dhave,
iyah mBak…Di Desa,,,, juga banyak yang bergaya kota—–i… ancur dan ngawur…marai greges…greges,,, saya yang tinggal di kota waktu bali ke desa jadi malu dan malu,,,,, tetep konsisten dengan nDesa Style….salam siang…. sekarang mBak,
semoga ada pak guru yang membaca supaya bisa dipraktekan ditempat lain….
bagaimana dengan Bu Guru…? nya
bu Guru gimana ini?
bu guru ga bisa panjat tebih je :((
ahay…. belom tau Dikau 😀
surpris ki :Dinfo selanjutnya ditunggu
syappp…. 😀
semakin menarik topikmu 🙂
@Elok; dibalik rintihan Rumah Sakit mBak… makasih..makasih…