Bahasa Indonesia Terjajah Paska Kemerdekaan

Bahasa menunjukan budaya suatu bangsa, dimana bahasa digunakan sebagai media komunikasi antar individu. Bahasa disusun sedemikian rupa agar terjadi suatu interaksi dan saling memahami apa yang dikomunikasikan. Dalam berbagai bahasa ada aturan atau kaidah yang menjadi pedoman agar bahasa tersebut baik dan benar.

Dalam budaya Jawa, bahasa dikategorikan berdasarkan tingkatan; ngoko, krama, krama inggil dan krama bagongan. Penggolongan tersebut didasarkan pada obyek dan subyek yang menjadi lawan komunikasi. Bahasa Indonesia juga memiliki aturan tersendiri yang tidak kalah rumitnya apabila dipelajari. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) menjadi dasar dalam menyusun kata-kata menjadi sebuah kalimat utuh.

Orang yang paham akan bahasa, tentunya akan menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan aturannya. Kesan kaku dan formal sering muncul dipermukaan, sehingga EYD jarang dan sering ditinggalkan dan beralih ke ejaan yang mudah dipahami walaupun itu salah. Beberapa kosakata bahasa asing seringkali mewarnai bahasa Indonesia, dimana kosakata tersebut sudah diserap dalam bahasa Indonesia. Orang akan lebih enak dan paham memakai kata “Download” daripada “mengunduh”, “keeper” dari pada “penjaga gawang”, “web site” daripada “laman” dan lain sebagainya.

Pada suatu saat saya mengikuti pertemuan ilmiah PERMI “Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia” yang dihadiri oleh orang-orang yang memiliki talenta lebih. Mungkin saya dengan gelar terendah dan ilmu paling dangkal, dibanding para Master, Doktor dan Profesor yang hadir. Saya yakin dan percaya yang hadir pada pertemuan tersebut adalah orang-orang yang pintar dibidangnya. Dalam pertemuan tersebut ada yang membuat saya muak dan merasa tidak terima, apalagi masih dalam suasana hari kemerdekaan Republik tercinta.

“maaf hadirin, sambil menunggu Bapak Pimpinan Yang belum RAWUH…….” kata ketua panitia yang berinisial DR.xxxx.M.Sc. Bahasa yang terdengar halus dan sopan untuk menghargai petinggi dengan kata “RAWUH” (hadir/jawa). “Rawuh” dalam bahasa jawa dikategorikan dalam kromo, kromo inggil dan bagongan, kata tersebut digunakan untuk orang yang dituakan, dihormati atau untuk yang lebih tinggi derajatnya. Sungguh penghargaan yang luar biasa untuk sang pimpinan dengan kata “Rawuh”. Bagi saya, kata “Rawuh” adalah sebuah penghinaan terhadap bangsa Indonesia. J S Badudu kalau mendengar pasti marah besar.

Contoh lain adalah saat penyajian hasil penelitian dari seorang Dosen yang baru saja menyelesaikan program Master di salah satu Universitas di Jepang dan Perancis. Saat presentasi penggunaan kosakata berbahasa asing sungguh luar biasa, padahal dalam bahasa Indonesia sudah diserap. “isolation/isolasi Bakteri” jadi “pengucilan bakteri”, “inoculation/inokulasi” jadi “pencuplikan”, “steril” jadi “suci hama”.

Kesan bahasa intelek, hebat, keren muncul menjadi sebuah paradigam tanpa melihat aturan yang benar. Saya sempat membaca jurnal ilmiah yang ditulis beberapa Profesor, sungguh bahasa yang aneh dan janggal tetapi itu yang benar. Dalam jurnal tersebut, semua kalimat memakai bahasa yang baku dan sesuai dengan EYD, nyaris tidak ada bahasa asing, kalaupun ada kata tersebut digaris bawah atau dicetak miring. Kesan kaku, aneh muncul, tetapi itulah yang menunjukan betapa kita memiliki bahasa sendiri.

Teriakan Satu tanah air, bangsa dan satu bahasa berkesan menjadi hiasan sejarah Sumpah Pemuda. Para kaum yang seharusnya memberi suri teladan telah kebarat-baratan dan berbahasa, masih mencampurkan budaya lokal untuk skala nasional. Tidak menjadi hal yang aneh apabila terjadi dominasi budaya dan bahasa dalam Republik Ini.

Keanekanragaman Budaya biarlah menjadi kekayaan lokal untuk mewarnai bangsa ini. Saya yakin dan percaya hampir semua penduduk Indonesia bisa dan tahu Bahasa Indonesia, tetapi untuk bahasa yang baik dan benar saya masih ragu. Orang tukang insinyur, sarjana, master, doktor dan profesor saja acapakali masih belepotan untuk berbahasa yang baik dan benar, apali saya. Bahasa persatuan sudah cukup menjadi mata rantai untuk menjalin persatuan dan kesatuan, jangan dinodai dengan budaya lokal atau asing dengan alasan biar lebih hebat, keren, ilmiah, lebih halus dan lain sebagainya.

Nah sudahkan kita berbahasa Indonesia yang baik dan bener?
“mbuh aku ndak tau….?”, “makane sinau..!”.

Universitas Sebelas Maret, 20 Agustus 2009, 14:00

63 thoughts on “Bahasa Indonesia Terjajah Paska Kemerdekaan

Leave a comment