Terhina Aku di Lawang Sewu

Pada awalnya iseng-iseng buka MP teman, kebetulan saat itu lagi berada di Malang. Eh.. ternyata ada nomer ponselnya, dengan asumsi iseng-iseng berhadiah aku kirim SMS. Tak berapalama ternyata dibales dan singkatkata sepakat untuk kopi darat di sebuah kafe diperumahan Sawojajar Malang. Bertepatan dengan Kopdar tersebut, ternyata ada rekan lain yang nimbrung. Akhirnya 4 orang penggemar fotografi berkumpul, saling diskusi ngalor ngidul. Salah satu dari teman, sebut saja kang Alex berencana mau bertandang ke Semarang dalam rangka mengajar disebuah lembaga study profesi.

Waktu berjalan, akhirnya kita ngumpul di Semarang, saya dikenalkan dengan rekan-rekan kang Alex, Eliz dan Kiki yang siap berpose jadi model, Miko yang siap jadi teman yang sama-sama gak tahu apa-apa tentang kamera. Pertemuan pertama hunting di Kota Lama Semarang dengan hasil sukses. Jadwal selanjutnya mencoba hunting model di Lawang Sewu Semarang.

Pada hari dan jam yang sudah ditentukan, kita ber tiga siap eksekusi 2 model di Lawang Sewu. Setiba di lokasi kita minta ijin buat foto-foto dan berkeliling dengan membayar karcis tandamasuk 5 ribu perak pada ibu penjaga. Selnajutnya kita mulai bermain dengan kamera masing-masing untuk melukis sang model.

Menjelang siang dan lagi hot-hotnya, karena matahari yang cerah, awan bergulung indah, langit biru yang cantik, cocok untuk foto bangunan, model dan alam, maka datanglah ibu-ibu sambil marah-marah tanpa sebab yang jelas. Kita pun dibuat termehek-mehek disana. Kira-kira begini semprotan ibu-ibu, “mas disini gak boleh foto, apalagi pake model, kalau mau foto begituan harus ijin dan bayar 600ribu”. Pucet yachhhh itu yang kami rasakan, seakan down mood ini.

Kang Alex kemudian memberi penjelasan “bu tadi kita udah ijin ibu, buat foto-foto, ini juga kita sedang belajar dan tidak bersifat komersial”. Dengan penjelasan seperti itu sang mbok-mbok semakin berang “mas mbambang fotografer seindonesa aja bayar enamratusribu dan itu sudah aturan disini”, kemudian saya cuma nyletuk “mana bu aturanya, kok kami ndak liat dan baca?”, dengan santai dijawab “belum dipasang” hahaha… belum dipasang pa belum dibuat…

Kami diminta dengan paksa menghentikan perburuan gadis-gadis cantik dan segera angkat kaki dari Lawang Sewu, sebab yang punya (orang pusat dari Mbandung) mau datang. Sesampai dipintu masuk kita ditemukan dengan sang penjaga (make sragam dishub) dan diminta ke Tamrin untuk minta ijin dulu lalu bayar baru deh ke Lawang Sewu, dengan serempak kita ambil nada “buuaaikkk Pakkk…”.

Sebelumnya saya sempat ngobrol dengan pengunjung yang berasal dari Banjarmasin, dia mengeluh saat di Lawang Sewu. “masak saya masuk dikenain tiket 5 ribu, trus saya motret pake HP diminta lagi 20ribu, kapok aku kesini mas” yachh tidak jauh dengan kita. “sabar saja Pak, namanya juga kota Sem(B)arang dengan seribu pinta mencari keuntungan.

Dari kejadian tersebut, saya minta maaf buat teman-teman atas ketidaknyaman tersebut. Sebagai tuan rumah saya sedih dan prihatin, se-ngenes Lawang Sewu. Kenapa sedemikian komersial, padahal dengan fotografi kita bisa kenalkan khalayak ramai bahwa ada bangunan seribu pintu di pusat kota Semarang.

Dengan fotografi jelas tidak akan merusak tatanan bangunan, bahkan bisa memberikan nilai tambah. Jadi teringat ketika Lawang Sewu di jadikan tempat Syuting Dunia Lain, Ayat-ayat Cinta dan yang terakhir Merah Putih. Siapa yang tak kenal dengan lawang sewu? kenapa kita disana mendapat perlakuan seperti itu, padahal tak ada sehelai rambutpun yang hilang ketika kita bermain dengan kamera. Berbeda pada saat pameran budaya kemari, tembok dipaku untuk gantungan dagangan dan hiasan, lantai dipenuhi dengan stand dan semua kelihatan syah-syah saja. Semua orang dipersilahkan datang tanpa dipungut karcis.

Yachh… kita kembalikan ke dirikita masing-masing, pinter-pinternya menempatkan diri dan tahu situasi, kondisi dan toleransi. Siapa mau hunting kesana….? resiko ditanggung penumpang, baca aturan pakai… jika sakit berlanjut hubungi pak Mentri Perhubungan.

Mohon maaf apabila kurang berkenan dan yang berkepentingan, ini hanyalah curahan ekspresi yang bampet..

Salam Damai
-sembrani,18 mei 2007, 06.37 WIB

24 thoughts on “Terhina Aku di Lawang Sewu

  1. @y42x: tapi tuh dah pemalakan dan pembalakan, bukan komersil lagi… apalgi dengan tindakan seperti itu.. membuat orang jera deh.. ampun… duit..duit… bisa aja

  2. @arifkurni; dibagian apa ya pemkotnya..? ntar ujung2nya duit maneh… kemarin temen mo coba ke surat pembaca suara merdeka, tapi gak tau jadi apa gak.. kesel..

  3. @jingglang; hahaha… anda benar,,, masuknya lawang 5ribu foto2 lawang 600ribu…. emang gak salah di namai pake sewu… tar Didi kempot biar 6ewu kuto sisan..hahaha.. suwun

  4. wakakakakaka…. bener harusnya judulnya Lawang 600 ewu, setiap pintu kita kena charge 600 perak… aneh2 ae wong sem(b)arang ini. masih inget nggak kata petugasnya yng di lawang sewu ketika kita bilang ni pmotretan buat edukasi dengan enteng dia bilang ya wess tak diskon 20 %…. Ediaannnn Tenannnnnnn Sem(b)arang-Sem(b)arang

  5. @alexam; perlu direnovasi bangunan dan penghuninya… besok dah bagus jadi lawang 6 juta… hahaha… malu aku… terhina aku… 6ribu tenan..

  6. @bambangprianto; iya seh..waktu kejadian ini paska ketauan aku sudah dapet 200 frame, jadi L+Raw udah hampir luber di 4Gb… Tapi yo terlalu je hehehe… salam

  7. itu kejadian pahit yang pernah saya alami di komplek Ratu Boko. Bahkan sempet bersitegang dengan 2 orang satpam karena ga ijin motret. Kalau mau motret mesti bayar dulu (saya lupa jumlahnya tapi nilainya cukup besar). Argumen saya saat itu saya motret bukan untuk komersial, sekedar jalan2 dan kebetulan karena settingnya semacam candi salah satu dari adik2 saya mengenakan pakaian etnik. Tapi sumpe, tujuan pemotretan itu hanya sekedar dokumen pribadi. Dan bisa ditebak mood memotret pun serta merta menghilang habis. saya dan adik2 saya akhirnya cabut dari situ. Dari penjelasan satpam di kantor bawah, saya peroleh keterangan, pengelolaan ratu boko dipegang oleh dua instansi, yaitu pengelolaan pariwisata dan satu lagi dinas konservasi. Rupanya salah satu pendapatan para satpam konservasi itu diperoleh dari jatah biaya ijin pemotretan tersebut, masing2 memperoleh Rp. 50.000,-, dan faktanya antara pegawai kantor bawah dan satpam yang berasal dari dinas konservasi ini ternyata tidak harmonis. Saya cuma mikir, kalau kita mau motret dan menyebarkan info pariwisata kita aja mesti pakai bayar muahal gitu, gimana bisa pariwisata kita maju. Mau foto aja susah, siapa yang mau berkunjung ke situ…huwaaaaaaastttcuuuu naaaannn

  8. sulisyk said: itu kejadian pahit yang pernah saya alami di komplek Ratu Boko. Bahkan sempet bersitegang dengan 2 orang satpam karena ga ijin motret. Kalau mau motret mesti bayar dulu (saya lupa jumlahnya tapi nilainya cukup besar). Argumen saya saat itu saya motret bukan untuk komersial, sekedar jalan2 dan kebetulan karena settingnya semacam candi salah satu dari adik2 saya mengenakan pakaian etnik. Tapi sumpe, tujuan pemotretan itu hanya sekedar dokumen pribadi. Dan bisa ditebak mood memotret pun serta merta menghilang habis. saya dan adik2 saya akhirnya cabut dari situ. Dari penjelasan satpam di kantor bawah, saya peroleh keterangan, pengelolaan ratu boko dipegang oleh dua instansi, yaitu pengelolaan pariwisata dan satu lagi dinas konservasi. Rupanya salah satu pendapatan para satpam konservasi itu diperoleh dari jatah biaya ijin pemotretan tersebut, masing2 memperoleh Rp. 50.000,-, dan faktanya antara pegawai kantor bawah dan satpam yang berasal dari dinas konservasi ini ternyata tidak harmonis. Saya cuma mikir, kalau kita mau motret dan menyebarkan info pariwisata kita aja mesti pakai bayar muahal gitu, gimana bisa pariwisata kita maju. Mau foto aja susah, siapa yang mau berkunjung ke situ…huwaaaaaaastttcuuuu naaaannn

    indonesia….. taunya minta ajah….

  9. sulisyk said: itu kejadian pahit yang pernah saya alami di komplek Ratu Boko. Bahkan sempet bersitegang dengan 2 orang satpam karena ga ijin motret. Kalau mau motret mesti bayar dulu (saya lupa jumlahnya tapi nilainya cukup besar). Argumen saya saat itu saya motret bukan untuk komersial, sekedar jalan2 dan kebetulan karena settingnya semacam candi salah satu dari adik2 saya mengenakan pakaian etnik. Tapi sumpe, tujuan pemotretan itu hanya sekedar dokumen pribadi. Dan bisa ditebak mood memotret pun serta merta menghilang habis. saya dan adik2 saya akhirnya cabut dari situ. Dari penjelasan satpam di kantor bawah, saya peroleh keterangan, pengelolaan ratu boko dipegang oleh dua instansi, yaitu pengelolaan pariwisata dan satu lagi dinas konservasi. Rupanya salah satu pendapatan para satpam konservasi itu diperoleh dari jatah biaya ijin pemotretan tersebut, masing2 memperoleh Rp. 50.000,-, dan faktanya antara pegawai kantor bawah dan satpam yang berasal dari dinas konservasi ini ternyata tidak harmonis. Saya cuma mikir, kalau kita mau motret dan menyebarkan info pariwisata kita aja mesti pakai bayar muahal gitu, gimana bisa pariwisata kita maju. Mau foto aja susah, siapa yang mau berkunjung ke situ…huwaaaaaaastttcuuuu naaaannn

    wakakakkakakakakka ketawa dulu yoaku turut prihatin mas, tapi kapan2 tak coba deh tanya2 emang ada aturan semacam itu?ckckckckcck

  10. sulisyk said: itu kejadian pahit yang pernah saya alami di komplek Ratu Boko. Bahkan sempet bersitegang dengan 2 orang satpam karena ga ijin motret. Kalau mau motret mesti bayar dulu (saya lupa jumlahnya tapi nilainya cukup besar). Argumen saya saat itu saya motret bukan untuk komersial, sekedar jalan2 dan kebetulan karena settingnya semacam candi salah satu dari adik2 saya mengenakan pakaian etnik. Tapi sumpe, tujuan pemotretan itu hanya sekedar dokumen pribadi. Dan bisa ditebak mood memotret pun serta merta menghilang habis. saya dan adik2 saya akhirnya cabut dari situ. Dari penjelasan satpam di kantor bawah, saya peroleh keterangan, pengelolaan ratu boko dipegang oleh dua instansi, yaitu pengelolaan pariwisata dan satu lagi dinas konservasi. Rupanya salah satu pendapatan para satpam konservasi itu diperoleh dari jatah biaya ijin pemotretan tersebut, masing2 memperoleh Rp. 50.000,-, dan faktanya antara pegawai kantor bawah dan satpam yang berasal dari dinas konservasi ini ternyata tidak harmonis. Saya cuma mikir, kalau kita mau motret dan menyebarkan info pariwisata kita aja mesti pakai bayar muahal gitu, gimana bisa pariwisata kita maju. Mau foto aja susah, siapa yang mau berkunjung ke situ…huwaaaaaaastttcuuuu naaaannn

    @sulis; wah jadi korban ya Cak… coba deh motret di candi-candi Jawa Timur…freee alias gretong.. sabar..sabar…pancen asu….@alex; andalah korban lawang 600ribu…@lala; weh mentang-mentang sing due semarang bisa ketawa hehehe…. aturan yang gak jelas tapi bisa memeras hahaha…

  11. dhave29 said: weh mentang-mentang sing due semarang

    Salam kenal . . . . Sebagai orang yg lama tinggal di Semarang , melu isin, risih mendengar pengalaman teman2 yg tak menyenangkan itu. Padahal status gedung itu sendiri gak jelas benar. menyenan

Leave a reply to jingglang Cancel reply